JATHILAN SEBAGAI HIBURAN TRADISI YANG MERAKYAT
Jathilan merupakan salah satu bentuk
implementasi pertunjukan seni drama yang mengisahkan peperangan antara dua gerombolan
prajurit berkuda dengan menggenggam senjata pedang dan keris. Tarian ini
termasuk sebagai seni tari tradisional yang menjalar di daerah Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Dari setiap daerah tersebut ada perbedaan penyebutan
istilah jathilan itu sendiri. Di Jawa Tengah daerah Banyumas disebut sebagai
ebeg, di Wonosobo disebut embleg, sementara di Magelang disebut dengan
jathilan. Istilah jaranan atau jaran kepang dikenal oleh masyarakat Jawa Timur,
khususnya di Kediri atau Tulungagung. Secara nasional, kesenian jathilan lebih
dikenal dengan sebutan kuda lumping.
Jathilan ini termasuk hiburan rakyat
yang gratis, meriah, ramai, dan digemari banyak orang baik anak-anak, remaja,
dewasa, hingga orang-orang tua. Bagi sebagian besar orang Jogja – Magelang,
jathilan memiliki kepanjangan kata yaitu “jarané
jan thil-thilan”. Arti kata tersebut dalam bahasa Indonesia berarti kudanya
melonjak-lonjak tidak beraturan. Sesuai dengan istilah tersebut dapat dimaknai
bahwa seni tari ini sebagai bentuk tarian rakyat biasa yang bersifat keras.
Rakyat biasa menciptakan tarian ini sangat kontras dengan watak tari-tarian
yang diperagakan oleh kalangan bangsawan di kraton. Jathilan sangat berlawanan
dengan bentuk-bentuk gerakan dan ekspresi seni di kraton yang serba halus,
anggun, lemah gemulai, dan berwibawa. Maka dapat dikatakan bahwa jathilan itu
sendiri adalah ekspresi seni arus bawah rakyat biasa yang berkembang di
masyarakat.
Berdasarkan sejarahnya, jathilan
berkembang pesat setelah Pangeran Diponegoro melakukan penyerangan ke Batavia
pada tahun 1825. Ketika terjadi perang Diponegoro, rakyat Indonesia baik itu
pria maupun wanita juga ikut perang dengan menaiki kuda. Perang DIponegoro terjadi selama lima tahun sejak tahun 1825 hingga 1830. Pada pertempuran itu telah menelan korban tewas sebanyak 15.000 orang (8.000 orang tentara Eropa dan 7.000 orang pribumi). Sementara prajurit Diponegoro mencapai 200.000 orang gugur. Maka untuk mengenang perjuangan ini, rakyat Jogja dan Jawa Tengah mempopulerkan jathilan. Namun perlu diketahui juga bahwa jathilan telah lama ada di beberapa wilayah Jawa Timur tepatnya daerah Ponorog dan Kediri.
Pada mulanya jathilan itu sendiri muncul pada zaman
Kerajaan Majapahit, tetapi belum ada bukti sejarah yang memperkuat pernyataan
tersebut. Namun keterkaitan sejarah dapat dilacak bahwa ada ritual memanggil
roh nenak moyang dengan cara menari jathilan. Sehingga terjadi kesurupan yang
dialami oleh penari jathilan. Ritual pemanggilan roh itu tentu saja sebagai
tradisi kegiatan animisme dan dinanisme yang berkembang pada zaman Majapahit. Pementasan
jathilan memiliki dua tujuan yaitu, sebagai sarana hiburan rakyat dan sebagai
sarana untuk menyatukan rakyat dalam melawan penjajah. Sehingga penyajian
jathilan itu erat dengan nuansa keprajuritan.
Tari jathilan itu dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu jathilan klasik dan jathilan kreasi baru. Jathilan klasik
merupakan jathilan yang menyajikan pementasan sesuai dengan pakem klasik.
Jathilan ini telah ada lebih awal atau pertama kali muncul. Sebab jathilan
klasik itu jathilan yang sederhana dari sisi kostum dan alat musik berupa
kendhang, bendhe, dan angklung. Penampilan yang sederhana ini menciptakan
bunyi-bunyian seperti, “pung jhir pung!
pung jhir pung! dang ndel ndang tak tung gendang jhir!” Maka dari bunyi
seperti itu banyak orang yang mengatakan jathilan klasik dengan istilah jathilan pung jhir atau jathilan pung jhor.
Sesuai dengan perkembangan zaman,
jathilan di Yogyakarta mengikuti perkembangan pula. Jathilan yang berkembang di
Yogyakarta saat ini memperhatikan aspek kreatifitas baik sisi gamelan, gerakan
tarian, wiraswara, maupun media pengeras suara yang digunakan. Fenomena
akulturasi budaya yang terjadi di Yogyakarta dimanfaatkan oleh seniman-seniman
muda sehingga muncuk inovasi-inovasi yang kreatif. Pengembangan sentuhan jathilan
ini sering disebut sebagai jathilan kreasi baru. Penambangan alat musik seperti
drum, kempul dan gong, kendhang jaipong, saron dan demung kromatik/ nada
diatonis, dan bendhe yang lebih bervariasi. Sementara kostum yang dikenakan
oleh penari lebih bervariasi dan aksesoris tampak lebih fresh. Demikian pula gerakan tariannya dengan mengembangkan tari
kreasi yang halus, tetapi tidak meninggalkan dimensi gagrak Mataraman (klasik)
dengan ciri khasnya yaitu tari perang. Selain itu juga ada tambahan penari
seperti topeng ganong, celeng, asu, buto gedruk, dan barongan.
Hal yang dinanti-nantikan adalah
ketika penari mengalami kesurupan. Peristiwa kesurupan sebagai puncak dari
pertunjukan jathilan. Kesurupan saat pentas jathilan lebih sering disebut
dengan “ndadi”, karena penari
jathilan mencapai puncak “kenikmatan”. Peristiwa ini sebagai bentuk hasil dari
perasaan kegembiraan yang meledak-ledak dari dalam diri penari. Sehingga penari
jathilan masuk di alam bawah sadar (manjing)
karena perasaan gembira bermain jathilan. Dalam keadaan tidak sadar ini penari
jathilan dapat melakukan atraksi-atraksi di luar nalar seperti makan beling
atau bara api, dupa, ayam hidup, dan lain sebagainya. Pada pertunjukan jathilan
kreasi baru saat ini, penari yang ndadi lebih banyak menari menyesuaikan
tabuhan gamelan yang lebih kekinian. Ketidaksadaran penari jathilan bukan
semata-mata hanya sebagai tontonan, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai bentuk
pelestarian kearifan lokal. Kesurupan itu bukan berarti penari dirasuki oleh
setan, sebab setan adalah roh jahat, bukan roh seni yang muncul dari perasaan
terdalam penari jathilan.
Keberadaan pawang merupakan
pengendali suasana pertunjukan jathilan. Selain itu pawang juga bertugas
melakukan ritual selamatan. Dalam ritual itu pawang menyediakan sesaji dengan maksud menyajikan dan mempersembahkan syukur kepada Tuhan Sang Pencipta Alam. Hal ini dimaknai sebagai wujud manusia agar tetap menyembah dan berserah kepada Tuhan. Maka sesaji pada intinya sebagai simbol penyerahan diri kepada Tuhan agar berkenan menyertai dan melindungi selama pementasan baik untuk penari, pengrawit, dan penonton/ masyarakat.
Maka
perlu dipahami bahwa, kesenian jathilan sebagai hiburan seni tradisional yang
merakyat. Keberadaan grup jathilan saat ini berkembang pesat di Yogyakarta dan
sekitarnya. Penyajian yang kreatif dan penuh inovasi jathilan mampu menyedot
penonton untuk menyaksikan jathilan di zaman modern saat ini. Kesenian ini
meskipun seni tradisional, tetapi mampu membuat penonton terkesima dan
menikmati setiap alunan gamelan dan gerakan penarinya. Unsur-unsur magis dalam
jathilan adalah ritual keselamatan itu sendiri melalui lantunan doa-doa pawang
kepada Sang Pencipta. Namun yang utama dari kesenian jathilan selain mengandung
unsur seni dan magis jathilan sebagai ajang ekspresi budaya yang kian menarik
untuk dikembangkan. Mengingat kesenian tradisional sebagai salah satu bentuk
ketahanan nasional.
Yogyakarta, 6 Agustus 2018
Komentar
Posting Komentar