Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"
Cerita Rakyat Daerah Jawa
Timur
14. Lembu Suro
14. Lembu Suro
Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah
seorang raja bernama Prabu Brawijaya. Ia memimpin Kerajaan Majapahit, daerah
Jawa Timur. Ia merupakan raja yang bijaksana, selain sakti dan kuat. Ia
memiliki seorang putri yang berparas cantik. Dyah Ayu Pusparani namanya. Sang
putri memiliki kecantikan yang alami mempesona, kulitnya lembut laksana sutera,
dan wajahnya elok bagaikan sinar bulan purnama. Banyak di antara pemuda yang
menyukai Dyah Ayu, tetapi belum juga ada yang dapat mempersuntingnya. Prabu
Brawijaya bingung memilih calon menantu bagi putrinya. Sebenarnya Prabu
Brawijaya tidak ingin menolak para pemuda karena ia hanya ingin memilih pemuda
yang terbaik.
Dalam pertapaannya di ruang khusus
raja, Prabu Brawijaya mendapatkan cara agar putrinya segera mendapat suami yang
cocok. Ia mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang sanggup merentangkan busur
Kiai Garudayeksa dan mengangkat Gong Kiai Sekardelima, maka orang itu berhak
mempersunting Dyah Ayu. Ia segera memerintahkan para pengawal kerajaan agar diumumkan
kepada penduduk negeri, bahkan sampai di kerajaan tetangga. Setelah pengumuman
tersebar luas, hari sayembara dilaksanakan. Para peserta sayembara berjejer
rapi di halaman istana kerajaan disaksikan penduduk negeri. Namun tidak ada
yang dapat merentang busur dan mengangkat gong sayembara. Ada juga beberapa
raja dan pangeran dari kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara akbar itu.
Mereka tidak kuat mengangkat gong dan busur yang diminta Prabu Brawijaya.
Di antara kerumunan orang-orang, ada
pemuda yang berani bertanya kepada Prabu Brawijaya, “Gusti Prabu Brawijaya,
apakah hamba diperbolehkan mengikuti sayembara akbar ini? Hamba sangat ingin
mencoba merentang dan mengangkat gong besar itu, Gusti Prabu.”
“Oh, boleh-boleh saja. Siapa
namamu?” tanya Prabu Brawijaya.
“Saya Lembu Suro,” jawab pemuda
pemberani itu.
Setelah mendengar jawaban Lembu
Suro, sang prabu langsung menyuruhnya menunggu giliran maju. Prabu Brawijaya
yakin bahwa tidak akan ada orang yang dapat merentang dan mengangkat gong itu,
apalagi pemuda yang baru saja meminta izin itu. Lembu Suro biasa dipanggil
dengan sebutan Raden Wimba. Lalu pada gilirannya, Lembu Suro maju. Segala
kekuatan yang melekat pada kedua lengan dan kakinya ia kuatkan. Para penton
tampak tegang melihat persiapan Lembu Suro beraksi. Akhirnya Lembu Suro
berhasil merentang busur Kiai Garudayeksa dan mengangkat gong Kiai Sekardelima.
Maka, sayembara telah berakhir. Lembu Suro mendapatkan hadiah raja dan berhak
menikah dengan putri Dyah Ayu Pusparani.
Dyah Ayu Pusparani harus menikah dengan
Lembu Suro, tetapi hatinya tidak mencintai Lembu Suro. Dyah Ayu langsung pergi
meninggalkan arena istana karena tidak mau menikah dengan manusia berkepala
sapi. Namun, betatapun saktinya kekuatan Lembu Suro itu. Prabu Brawijaya jadi
sedih melihat putrinya menangis. Sang prabu mencari penasihat kerajaan agar
dapat membatalkan pernikahan putrinya dengan Lembu Suro.
“Ampun, tuan putri. Apabila tuan
putri tidak mau menikah dengan Lembu Suro, sebaiknya tuan putri segera mencari
jalan keluar,” ujar inang pengasuh.
Mendengar perkataan inang, Dyah Ayu
langsung terperanjarat dari tempat tidurnya dan segera mengusap air matanya.
“Wow, benar sekali katamu, mak
inang. Kita harus membuat taktik agar dapat membatalkan pernikahanku dengannya.
Tapi caranya bagaimana, ya, inang?” tanya Dyah Ayu bingung.
“Begini, tuan putriku yang cantik.
Suruhlah Lembu Suro menggali sumur di Gunung Kelud agar dapat digunakan untuk
mandi setelah upacara pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam
waktu semalam,” ujar mak inang.
Dyah Ayu Pusparani menerima usul mak
inang dan segera menyampaikan kepada Prabu Brawijaya sewaktu sedang
membersihkan keris pusakanya. Lalu, pesan itu diberikan kepada Lembu Suro agar
segera berangkat ke Gunung Kelud. Akhirnya Lembu Suro menyanggupi permintaan
sang raja dan segera berangkat ke Gunung Kelud sebelum senja tiba.
Setelah sampai di Gunung Kelud,
Lembu Suro langsung menggali tanah. Malam itu Prabu Brawijaya memerintahkan
para prajurit kerajaan untuk pergi menyusul Lembu Suro dan menimbunnya di dalam
sumur itu. Tidak ada prajurit yang berani mengelak perintah sang raja. Lembu
Suro langsung ditimbun oleh prajurit kerajaan tanpa henti. Di dalam sana, Lembu
Suro berteriak-teriak meminta tolong.
“Tolooooooong! Toloooooong aku!
Jangan timbun aku dalam sumur ini!” teriak Lembu Suro.
Para prajurit tidak peduli dengan
permintaan tolong Lembu Suro. Mereka terus saja menimbun Lembu Peteng dengan
tanah dan dilempari dengan batu. Tidak lama kemudian, Lembu Suro sudah
tertimbun tanah dan batu. Lembu Suro bersumpah kepada Prabu Brawijaya dan
seluruh rakyat Kediri.
“Hé,
Kediri mbésuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal
dadi kali, Blitar dari latar, Tulungagung bakal dadi kedhung.”
(Wahai orang-orang Kediri, suatu saat
akan mendapatkan balasangku yang tiada henti. Kediri bakal menjadi sungai,
Blitar menjadi daratan, dan Tulungagung menjadi daerah perairan.)
Para prajurit menjadi ketakutan
setelah menimbun Lembu Suro karena langsung terjadi hujan badai disertai petir.
Dalam sumpahnya itu, Lembu Suro berjanji bahwa setiap dua windu sekali dia akan
merusak seluruh wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Merasakan ancaman itu, Prabu
Brawijaya dan seluruh rakyatnya menjadi ketakutan. Ia mencari segala cara untuk
menangkal sumpah Lembu Suro yang menakutkan itu. Ia memerintahkan agar seluruh
rakyat membuat tanggul pembendung yang kokoh jika terjadi bencana banjir.
Setelah meninggi, tanggul itu dinamakan Gunung Pegat dan di tempat itu
diselengarakan larung sesaji. Namun, bencana tetap saja terjadi. Jika Gunung
Kelud meletus, itu karena Lembu Peteng sedang mengamuk atas dendamnya terhadap
Prabu Brawijaya.
Komentar
Posting Komentar