Cerita Rakyat Nusantara "Bukit Sulap"



Cerira Rakyat Daerah Sumatera Selatan 
9. Bukit Sulap
            Alkisah, pada zaman dulu ada sebuah desa bernama Ulak Lebar yang dipimpin oleh seorang ginde (kepala desa) dengan gelar Ginde Ilang di Kebun. Sekarang desa ini sudah tidak ada, tetapi kita masih dapat menemui sisa-sisa peninggalan yang terletak di pinggir Sungai Kelingi, di kaki Bukit Sulap yang berseberangan dengan Kota Lubuklinggau.
            Ginde Ilang di Kebun ini mempunyai dua orang anak. Anak yang pertama itu laki-laki bernama Ngonang, sedangkan anak kedua bernama Dayang Torek. Dayang Torek berparas cantik dan anggun dengan jari-jarinya yang lentik dan kulitnya kuning langsat. Selain itu tutur katanya sangat halus, tindakannya sopan dan ramah dengan orang-orang di sekitarnya sehingga setiap orang yang berpapasan dengannya menjadi terpesona.
            Pada suatu hari di musim kemarau, ada segerombol utusan Sunan Palembang yang dipimpin oleh seorang hulu balang ke daerah hulu sungai Kelingi. Kedatangan mereka tak lain untuk memantau daerah-daerah serta pimpinannya yaitu ginde-ginde. Akhirnya gerombolan itu tiba di Desa Ulak Lebar. Seperti adat kebiasaan masyarakat setempat, setiap tamu yang datang di Desa Ulak Lebar harus disambut secara gembira oleh Ginde Ilang di Kebun. Terlebih jika tamu yang datang adalah tamu terhormat dan berperan sebagai wakil dari Sunan Palembang. Gerombolan utusan ini disediakan tempat yang bersih dan terhormat untuk beristirahat dan tidur. Makanan dan minuman pun dibuatkan yang paling nikmat agar mereka tidak merasa kecewa dengan makanan yang dihidangkan. Pada malam itu setelah melepas lelah karena berjalan kaki cukup jauh, mereka dihibur dengan acara kesenian tari-tarian dan nyanyian merdu. Hal ini karena telah menjadi tradisi di rumah Ginde Ilang di Kebun. Apabila tamu utusan tidak disambut dengan gembira maka mereka akan tidak senang dengan Desa Ulak Lebar dan akan mendapat malapetaka.
            Fajar pagi mulai menyoroti setiap dahan pohon dan tanaman kebun. Dayang Torek dan gadis-gadis lainnya menampakkan rona wajah yang sangat cerah. Para gadis berjalan beriringan mengantarkan sajian makanan dan kur bagi gerombolan utusan Sunan Palembang. Para utusan duduk di sekeliling dinding dan menyandarkan bahu sambil bersenda gurau di tengah-tengah kepulan asap rokok. Pada saat itulah utusan itu terdiam dan terpana memandang keanggunan Dayang Torek yang menyajikan makanan. Mereka sangat heran sampai terpesona akibat senyum manis Dayang Torek yang cantik nan indah pakaian yang ia kenakan.
            Para utusan menyantap hidangan makanan yang masih hangat dan beraroma sedap bercampur dengan sedapnya aroma kepulan asap tembakau. Pada saat sedang makan bersama, rupanya si hulu balang dengan sekonyong-konyong timbul perasaan yang aneh dari dalam hatinya. Ia gelisah. Gelisah setelah melihat Dayang Torek. Hatinya tergetar dan degup jantungnya berdetak kuat ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak kuat. Si hulu balang ingin mempersunting Dayang Torek sebagai istrinya. Lalu hulu balang mengungkapkan keinginannya kepada Ginde Ilang di Kebun. Mendengar perkataan itu, Ginde Ilang di Kebun terkejut atas keinginan hulu balang.
            Dalam hatinya, Ginde Ilang di Kebun bertanya-tanya, “Sebenarnya apa tujuan Sunan Palembang mengutus mereka datang ke sini? Mereka ke sini untuk meninjau keadaan desa ataukah justru sengaja menginginkan Dayang Torek atau karena hanya kebinalan si hulu balang semata?”
            Apabila Ginde Ilang di Kebun menolak permintaan hulu balang maka pasti akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Ginde Ilang cukup sulit untuk memikirkan segala sesuatu untuk menjawab permintaan hulu balang sebab usinya memang sudah cukup tua. Ginde Ilang tidak bisa berbuat banyak dan hanya tertegun. Semua seperti serba salah. Jika Ginde Ilang tidak menerima permintaan hulung balang maka ia akan dimusuhi dan dihukum, sementara jika menerima hulung menikah dengan putrinya, betapa Ginde Ilang tidak memiliki kewibawaan di depan keluarga dan rakyatnya. Dayang Torek belum cukup usia untuk menikah karena ia baru saja menginjak masa remaja. Setelah berpikir agak lama, Ginde Ilang di Kebun dengan berat hati dan perasaan yang kacau balau menerima keinginan hulu balang. Tiba-tiba saat Ginde Ilang menjawab di depan hulung balang, Ngonang datang dan mengetahui maksud yang diinginkan hulu balang tersebut. Ngonang langsung menolak permintaan hulu balang di tengah-tengah rakyat dan gerombolan utusan. Ngonang dengan suara lantang mengatakan menolak, tidak menyetujui, walau ayahnya telah menerimanya. Ngonang memberanikan diri menolak sebab ia merupakan anak tertua dan berhak membela keluarganya yang telah dihina oleh hulu balang. Ia tidak merasa takut kendati nanti akan dimusuhi oleh hulu balang dan ia merasa bertanggung jawab dan dialah sebagai pengganti tulang patah, penyambung nyawa putus, ada penerus keturunan dari orang tuanya. Ngonang sangat tidak ingin melihat orang yang bertindak sewenang-wenang itu meskipun ia adalah hulu balang, utusan Sunan Palembang. Melihat reaksi dari Ngonang tersebut, hulu balang justru merasa bertambah semangat untuk mempersunting Dayang Torek sebagai istrinya.
            Dan, apa yang telah menjadi kekhawatiran Ginde Ilang di Kebun terjadi pula. Terjadilah kerusuhan hebat di Desa Ulak Lebar yang dipimpin oleh hulu balang. Ngonang tidak mampu menahan kerusuhan itu karena kekuatan hulung balang jauh lebih besar. Selain itu ia memang seorang utusan Sunan Palembang yang memiliki taktik cerdik. Saat kerusuhan masih memuncak, gerombolan utusan langsung mengambil siasat untuk melarikan Dayang Torek ke Palembang. Akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan karena gerombolan utusan dan hulung balang memang sudah pergi meninggalkan Desa Ulak Lebar dengan membawa Dayang Torek.
            Dayang Torek sudah sampai di Palembang di hadapan Sunan Palembang. Hulu balang menceritakan semua peristiwa yang menimpa gerombolan utusannya di Desa Ulak Lebar, daerah Musi Rawas itu. Awalnya hulu balang berpura-pura ingin menyerahkan Dayang Torek kepada Sunan, tetapi Sunan sudah tahu akan watak hulu balang. Sunan tidak mau menerima Dayang Torek karena disangka sudah tidak perawan akibat ulah hulu balang. Dayang Torek diserahkan kepada hulung agar dijadikan seorang istri. Selain itu hulu balang mendapat kemarahan Sunan sebab tidak menjalankan tugas sesuai dengan perintah tetapi justru membawa seorang gadis. Sekarang Dayang Torek tinggal di istana dan dijaga ketat oleh pengawal istana, jangan sampai ada yang membawanya kembali ke Desa Ulak Lebar. Sementara Ngonang merasa dirinya malu di depan penduduk, dan berniat untuk mengambil adiknya kembali ke rumah. Ia belajar ilmu kebatinan agar mampu menandingi kekuatan hulu balang. Setelah berhasil berguru dan menguasai ilmu kebatinan dengan baik, akhirnya Ngonang berangkat menuju ke Palembang bersama para pengikutnya untuk menjemput adiknya. Sampailah Ngonang di istana Sunan dan segera membentuk taktik. Ngonang telah mengetahui dengan pasti keberadaan adiknya. Lalu ia menyamar sebagai pengawal istana untuk masuk ke dalam istana. Segala kekuatan yang dikerahkan Ngonang berhasil digunakan untuk mengambil Dayang Torek di dalam kamarnya tanpa diketahui oleh pengawal. Akhirnya Ngonang dan Dayang Torek bersama dengan para pengikut segera pergi meninggalkan istana Sunan yang dijaga sangat ketat.
            Sekarang Dayang Torek hidup aman di rumahnya. Namun, ia telah menjadi istri hulu balang. Kian hari perutnya bertambah besar. Ia telah hamil, mengandung anak hulu balang. Segala yang dirasakan oleh Ngonang adalah perasaan malu. Semula ia mengambil adiknya sebagai penebus rasa malu, tetapi sekarang adiknya telah mengandung menjadikan dirinya bertambah hancur lebur. Keluarganya sebagai tokoh masyarakat telah ternoda sebab anak yang dikandung oleh Dayang Torek dianggap anak haram. Ia berencana akan membunuh anak yang akan dilahirkan adiknya karena tidak mau melihat keturunannya ternoda oleh keberadaan anak haram itu.
            Akhirnya setelah tiba waktunya, hari kelahiran anak Dayang Torek disambut gembira, tetapi tidak dengan Ngonang. Dayang Torek sangat sayang terhadap bayinya yang sehat dan bagus. Ia tidak menganggap sebagai anak haram karena bayi itu memang anak kandungnya yang ia sayangi. Rencana Ngonang akan dilaksanakan untuk membunuh anak Dayang Torek. Pada saat Dayang Torek sedang mandi di sungai, sementara bayinya sedang tertidur pulas, Ngonang langsung menggendong bayi itu dan dibawa ke dalam hutan. Di situlah Ngonang membunuh bayi itu dan dikuburkan agar tidak ada jejak. Semua orang sudah mengetahui perbuatan Ngonang meskipun dirahasiakan secara pribadi. Hati Dayang Torek menjadi kacau tak menentu. Nasibnya sungguh malang. Hubungan dengan suaminya tidak jelas, Ginde Ilang di Kebun juga sudah tua renta, sementara anaknya telah dibunuh akibat perbuatan kakaknya. Semua kebahagiaan Dayang Torek telah pupus. Ia menderita dan tubuhnya semakin kurus, tidak mau makan dan minum. Setiap hari meneteskan air mata keputusasaan. Kecantikannya telah sirna. Orang-orang sudah tidak memandang Dayang Torek bagaikan seorang peri kahyangan. Lalu, di tengah malam Dayang Torek secara diam-diam pergi meninggalkan rumah menuju ke dalam hutan di bawah sinar bulan yang temaram. Badannya lemah dan kurus tak berdaya. Akhir hayatnya ada yang menganggap bahwa Dayang Torek mati bunuh diri di dalam hutan. Ada juga yang mengatakan Dayang Torek telah silam, atau mati menghilang tanpa bekas, tanpa dikubur. Maka penduduk mengistilahkan dengan nama “silampari” atau gadis cantik bak peri yang menghilang tanpa bekas.
            Ngonang pun bertambah merasakan kekalutan hidup. Ia khawatir jika gerombolan hulu balang Sunan Palembang tiba-tiba datang kembali untuk mengajak perang karena ingin mengambil istrinya, Dayang Torek. Lalu ia mensiasati kemungkinan yang akan terjadi, yaitu dengan cara membendung Sungai Kelingi agar gerombolan hulu balang terhalang ketika hendak menyerang Desa Ulak Lebar. Ketika sedang membawa selampiuang tanah, Ngonang berjumpa dengan Si Pahit Lidah yang dikenal sakti perkataannya. Lalu pada saat mereka berpapasan dan berhenti sejenak, Si Pahit Lidah menegur Ngonang dengan suara yang halus, “Hai, Ngonang! Apa maksudmu membendung sungai ini, membuat bukit di tengahnya? Sekarang pulanglah kamu! Tengoklah orang tuamu sedang sakit, mungkin sekarang sudah mencapai ajalnya.”
            Mendengar teguran itu, Ngonang langsung pulang ke rumah memastikan kondisi Ginde Ilang. Ternyata Ginde Ilang di Kebun sudah meninggal dunia di teras rumahnya sambil duduk di kursi. Hati Ngonang sangat berantakan, sedih tak terbendung. Ia lari kembali ke sungai dan tanah yang dipikulnya dilemparkan di tengah Sungai Kelingi dengan sekuat tenaga sambil berteriak bagaikan suara elang memburu mangsanya. Seketika tanah yang dilemparkan Ngonang menjadi bukit yang besar dan membelah Sungai Kelingi menjadi dua bagian. Bukit itu disebut dengan Buki Sulap karena kemunculannya sangat ajaib dan sekejap mata, bahkan mengerikan akibat penderitaan Ngonang. Hingga saat ini kita bisa melihat Bukit Sulap dari Kota Lubuklinggau, seberang Sungai Kelingi. Bukit Sulap ini sudah menjadi tempat wisata menarik yang digemari masyarakat untuk menikmati alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"