Cerita Rakyat Nusantara "Banyuwangi"
Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur
19. Asal Usul Banyuwangi
Pada zaman dahulu, berkuasalah
seorang raja di daerah Jawa Timur yang memiliki cara mempimpin bijaksana. Ia
merupakan raja yang disegani dan disayangi oleh rakyatnya sebab negerinya amat makmur
dan damai, tanpa ada pemberontakan.19. Asal Usul Banyuwangi
Raja itu memiliki seorang patih yang
sangat cerdik setiap kali mendapatkan perutusan. Ia bernama Patih Sidapaksa.
Kecakapannya itu sudah diketahui oleh masyarakat dan ia dikenal sebagai patih
yang setia dan hormat kepada raja. Setiap kali mendapatkan perutusan, selalu
dilaksanakan dengan senang hati sehingga raja sangat menyanyanginya. Selain
itu, Patih Sidapaksa adalah seorang yang rupawan. Perawakannya tinggi dan
gagah, sangat serasi memiliki seorang istri yang cantik laksana bidadari.
Namun, istrinya bukan orang keturunan bangsawan meskipun sifat dan tutur
katanya halus dan santun.
Atas keadaannya sebagai orang yang
tidak memiliki darah bangsawan, Ibu Patih Sidapaksa tidak menyukai menantunya
itu. Hal itu dirasa membuat martabat kebangsawanannya menjadi turun.
“Ya ampun, andai kata menantuku dari
keluarga bangsawan keraton, pasti saya akan lebih terhormat,” gerutu dalam
hati.
Namun sayang, ia tidak bisa
mengutarakan kejengkelan hatinya kepada Sidapaksi, anaknya. Lama-lama rasa
jengkel dan dendam hanya bisa bersemayam dalam hati Ibu Sidapaksi. Dalam
keadaan yang ribet, tiba-tiba rasa bencinya terhadap istri Sidapaksa semakin
membara bagaikan jilatan lidah-lidah api. Ia sangat ingin agar anaknya berpisah
dengan wanita rendahan itu. Agar keinginannya itu dapat terwujud, ia membujuk
sang raja supaya memberikan tugas pada putranya. Setelah sang ibu mengutarakan
maksud dan keinginannya kepada raja agar putranya diutus untuk pergi bertugas.
“Ampun, paduka. Beberapa hari ini
hamba menampaki bahwa putra hamba, Sidapaksa murung. Ia gelisah karena tidak
pernah mendapatkan tugas perutusan lagi. Padahal ia sangat senang apabila
mendapatkan tugas dan pergi berpetualang,” pinta si Ibu.
“Lho,
ada apakah gerangan dengan anakmu, Nyai? Apakah dia tidak senang berada di
rumah dan lingkungan istana megah ini?” tanya sang raja penasaran.
“Tampaknya bukan begitu, paduka.
Hamba melihat bahwa ia sering termenung dalam kegelisahannya mungkin karena
bosan dengan tugas yang itu-itu saja. Mungkin paduka dapat memberikan tugas
yang baru agar tidak jenuh,” ujar si Ibu.
Mendengar usulan tersebut, raja
hanya terdiam. Ia tidak menduga bahwa patih kesayangannya mendapatkan kesulitan
dengan tugas perutusannya. Sebenarnya keadaan kerajaan tetap aman dan hubungan
dengan kerajaan lain tidak ada permasalahan perang. Akhirnya, sang raja
menimbang segala pikirannya yang tertuju pada patihnya. Ia mengabulkan
permintaan Ibu Sidapaksi. Hati Ibu Sidapaksi langsung gembira mendengar
keputusan sang raja.
Tidak lama kemudian sang raja
memanggil Patih Sidapaksi untuk menghadapnya. Sambil berdiri, raja berkata,
“Permaisuriku meminta dicarikan setangkai bunga. Konon, bunga itu dapat membuat
wajahnya terlihat lebih cantik. Sayangnya, bunga itu hanya tumbuh di puncak
Gunung Ijen. Tolonglah aku, wahai Sidapaksi. Petiklah bunga itu untuk
permaisuri,” perintah sang raja.
Mendengar tugas itu, Patih Sidapaksa
terkejut dan dalam hati ia ingin menolak, tapi tidak akan mungkin. Ia tidak
akan mengecewakan rajanya sebagai abdi yang baik. Usai memberi hormat,
Sidapaksa kembali ke rumahnya. Ia berpamitan dengan istri tercintanya dengan
berat hati. Istrinya tahu bahwa hati suaminya sangat resah akan menjalan tugas
itu. Patih Sidapaksa harus meninggalkan istri tercintanya yang telah mengandung
seorang bayi. Namun, demi tugas itu, istrinya merestui Sidapaksa.
Keesokan hari setelah semua sudah
siap, Patih Sidapaksa berpamitan dengan ibunya. “Pergilah, hai anakku! Aku akan
menjaga istrimu ini dengan sebaik-baiknya.”
Beberapa bulan telah berlalu dan
saatnya istri Sidapaksi melahirkan. Ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia
persis dengan ayahnya, tampan dan gagah. Gembiranya hati sang istri dapat
melahirkan seorang putra. “Nak, semoga kelak engkau menjadi seorang yang perkasa,
sehebat ayahmu, Sidapaksi,” ucap sang istri.
Sang istri mengasuh bayinya dengan
penuh kasih sayang. Hingga pada suatu hari, saat si bayi sedang tertidur lelap
di kamar dan sang istri sedang mandi, si Ibu mertua meilhat bayi itu. Ia sangat
benci dengan bayi itu. Lalu, muncullah pikiran jahat yang ia harapkan. Ia akan
membuang bayi itu. Dengan mengendap-endap, dia langsung membawa bayi itu dan
dibawa pergi. Kemudian Ibu mertua itu sampai di sungai yang deras alirannya,
tetapi keruh dan bau sehingga air sungai itu tidak dimanfaatkan masyarakat.
Tanpa berpikir panjang, Ibu mertua langsung melemparkan cucunya itu ke sungai.
Ia langsung kembali ke rumah dan merapikan diri, lalu istirahat di dalam kamar
agar tidak dicurigai. Sang istri selesai mandi lalu masuk ke dalam kamar dan
ingin melihat bayinya. Tiba-tiba terdengar suara menyedihkan. Sang istri
menangis meronta-ronta karena bayinya tidak ada di tempat tidurya. Namun, Ibu
mertua dengan perasaan tenang langsung mendatangi menantunya. Ia berpura-pura
ikut panik dan mencari cucunya hingga ke sekeliling rumah, tetapi tidak ada
orang yang tahu.
Istri Sidapaksa kembali ke rumah
dengan perasaan hancur berkeping-keping. Akhirnya, ia jatuh sakit karena
memikirkan nasib anaknya yang telah dicuri orang. Dua tahun kemudian setelah
Sidapaksi meninggalkan istrinya, tersiar kabar bahwa Sidapaksi telah kembali
dari tugasnya. Patih Sidapaksa berhasil mendapatkan bunga yang diinginkan
permaisuri raja.
“Terima kasih banyak, Sidapaksi. Kau
sudah melaksanakan tugas ini dengan baik. Permaisuri pasti sangat bahagia
memiliki bungan ini,” kata sang raja.
Seketika Patih Sidapaksa berpamitan
karena tidak sabar bertemu dengan istri tercintanya. Setelah sampai di rumah,
Sidapaksi melepas rindu dengan sang istri. Melihat anaknya telah kembali, si
Ibu langsung berkata, “Syukurlah, akhirnya engkau pulang juga, Nak. Ibu sangat
merindukanmu. Tapi Ibu turut bersedih, karena anakmu telah tiada. Ia dibuang
oleh istrimu ke sungai,” ungkap si Ibu.
Sidapaksa terkejut mendengar
perkataan si Ibu. Ia tidak menyangka bahwa istrinya berani membuang anaknya yang
masih bayi itu. Patih Sidapaksa tidak mampu berpikir jernih. Emosinya
bergejolak dan marah tiada henti. Di saat tubuhnya lelah, pulang dari
petualangan yang jauh, ia mendapati kabar bahwa anaknya telah dibuag istrinya
yang sangat dicintainya itu. Hasutan si Ibu berhasil mempengaruhi Sidapaksi.
“Perempuan kejam! Mengapa kamu
membuang anakku? Kenapa kau sangat tega?” bentak Sidapaksi kepada istrinya.
“Ampun, kakanda. Aku mohon,
dengarkanlah dulu penjelasanku ini. Aku tidak pernah melakukan perbuatan itu.
Anak kita hilang dicuri orang. Aku sudah berusaha mencari ke mana-mana tetapi
tidak mendapatkannya. Aku sampai jatuh sakit hingga beberapa minggu,” ungkap
sang istri.
Namun, sayangnya penjelasan sang
istri tidak dapat diterima oleh hati Sidapaksi. IA tetap dalam keadaan emosi
dan besar. Ia sama sekali tidak mampu membendung kekalutannya di hadapan
istrinya. Sidapaksi sudah yakin bahwa anaknya itu dibuang oleh istrinya
sendiri. Ulah yang sangat kejam yang tidak diketahui sebelumnya. Lalu, tanpa
diduga Patih Sidapaksi mencabut kerisnya dan menghunuskan keris pusakanya.
Melihat itu, sang istri terkejut dan berusaha melerai kemarahan Sidapaksi.
“Seorang ibu sangat tidak pantas
hidup karena tega membunuh anaknya sendiri, apalagi masih bayi. Ia harus mati!”
teriak Sidapaksi.
Sang istri tidak merasa gentar
melihat suaminya itu. Ia yakin bahwa yang melakukan itu bukan dirinya. Lalu,
sang istri mencoba berkata lagi, “Wahai, suamiku tercinta, Sidapaksi. Sepertinya
engkau tidak percaya dengan perkataanku lagi. Aku rela mati, tetapi engkau
jangan bersusah payah membunuhku sebab sebentar lagi akan menemukan ajalku.”
Setelah berpesan seperti itu, sang
istri lari meninggalkan Sidapaksi menuju ke sungai yang keruh, bau, dan deras
alirannya itu. Sebelum menceburkan diri, ia berkata lagi kepada Sidapaksi, “Oh
kakanda, jika air sungai ini menjadi harum, berarti aku tidak bersalah. Tidak
pernah membuang bayi kita di sungai ini.”
Seketika terjadi kejadian ajaib.
Sungai yang keruh dan bau itu berubah menjadi harum. Mencium bau dan melihat
kejadian itu, Patih Sidapaksi terkejut dan gentar. Namun, semua sudah
terlambat, ibarat nasi yang telah menjadi bubur. Beberapa saat kemudian, dari
dalam sungai itu terdengar suara, “Ayah, akulah anakmu yang engkau cari. Ibu
tidak bersalah. Ibu tidak membuangku di sini. Neneklah yang telah berbuat
jahat.”
Patih Sidapaksa menangis. Menyesal
dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Anaknya telah hilang, istrinya telah
tiada. Dengan langkah letih lesu, ia kembali ke rumah dan menyesali
kebodohannya. Sementara itu, air sungai yang keruh dan bau itu berubah menjadi
harum sehingga warga menyebutnya dengan nama Banyuwangi. Hingga kini, daerah
Banyuwangi merupakan sebuah Kota Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur.
Komentar
Posting Komentar