Cerita Rakyat Nusantara "Prabu Siliwangi"


Cerira Rakyat Daerah Jawa Barat
17. Prabu Siliwangi
             Di daerah Priangan Timur, Jawa Barat, ada sebuah Kerajaan Surawisesa. Pada saat itu rajanya bersemayam di Keraton Pakuan Pajajaran. Raja yang berkuasa bernama Prabu Siliwangi, seorang putra Prabu Anggalarang. Saat masih muda, Prabu Siliwangi bernama Manah Rarasa.
            Pada suatu hari, Manah Rarasa berkeinginan meninggalkan Keraton Pajajaran menuju pesisir utara di sebuah Desa Muarajati. Desa itu sangat ramai karenaa digunakan sebagai tempat berlabuh perahu-perahu dari berbagai tempat. Desa yang ramai dan damai itu dipimpin oleh Ki Juru Labuan karena ia memang bertindak sebagai penguasa Pelabuhan Muarajati. H Setelah mengenali situasi lingkungan, Manah Rarasa menetap di rumah Ki Gede Sindang Kasih. Di rumahnya, Manah Rarasa berguru ilmu kesaktian dan ilmu hidup. Di situ Manah Rarasa dinikahkan dengan putri Ki Gede Sindang Kasih yang bernama Nyi Ambet Kasih.
            Setelah menikah dan mendapatkan kesaktian, Manah Rarasa kembali ke keraton. Ia dinobatkan sebagai raja Pajajaran dan diberi gelar Sang Prabu Siliwangi atau Sang Prabu Dewata Wisesa yang berkuasa penuh di daerah Tataran Sunda. Prabu Siliwangi memiliki seorang mahapatih yang gagah perkasa bernama Mahapatih Argatala, dan Patih Adipati Siput. Suatu ketika Prabu Siliwangi memerintahkan kepada Mahapatih Argatala untuk memeriksa daerah perbatasan negara sebelah timur dan utara. Ia didampingi oleh empat puluh orang pengiring serta perbekalan untuk waktu dua bulan.
            Di daerah Karawang seorang ulama besar yang berasal dari Negeri Arab, bernama Seh Kuro. Ia mendirikan pondok pesantren dan mengajarkan Agama Islam kepada santri-santrinya. Ada seorang wanita cantik yang sudah lama belajar Agama Islam di pondok itu. Ia bernama Nyi Subang Larang atau Nyi Subang Keranjang. Parasnya selain cantik juga berbudi luhur, sopan santun, dan cerdas. Konon ia berasal dari Singapura Mertasinga. Ketika dalam perjalanan, Mahapatih Argatala tiba di pondok pesantren Seh Kuro. Mereka disambut gembira oleh penduduk setempat dan para santri. Lalu Mahapatih Argatala memperkenalkan diri bahwa dirinya adalah utusan dari Kerajaan Pajajaran.
            “Tampaknya di sini banyak sekali anak muda laki-laki dan perempuan yang sopan. Apakah yang mereka kerjakan, wahai Seh Kuro?” tanya Argatala.
            “Oh, mereka itu anak-anak muda yang baik. Mereka di sini belajar Agama Islam yang saya bawa dari Negeri Arab,” terang Seh Kuro.
            Mendengar jabawan Seh Kuro itu, Argatala menjadi penasaran. Ajaran yang bagaimana yang diajar oleh Seh Kuro itu. Argatala mendengar penjelasan Seh Kuro dengan saksama.
            “Islam itu agama yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta alam semesta ini. Agama Islam tidak menyembah berhala berupa kayu ataupun batu, apalagi dewa-dewa,” ungkap Seh Kuro.
            Mahapatih Argatala tercengang mendengar perkataan Seh Kuro. Ajaran di dalam Agama Islam bertentangan dengan ajaran nenek moyang. Namun, Argatala tidak melarang penyebaran ajaran Islam itu sebelum ia melaporkan kepada Prabu Siliwangi. Saat Seh Suro sedang bercerita panjang lebar, muncullah Nyi Subang Larang dari luar pondok. Terkesan sekali ia akan kecantikan dan keanggunan wanita itu. Dalam hatinya, ia akan membawa wanita itu ke hadapan sang prabu.
            Setelah selesai mendapat segala laporan keadaan di pondok itu, terlebih telah melihat wanita cantik itu, Mahapatih Argatala mengungkapkan kedatangannya lebih lanjut. Ia mengatakan bahwa maksud kedatangannya untuk meminang Nyi Putri Subang, sebagai utusan Prabu Siliwangi. Namun Nyi Putri Subang menolaknya dengan kata-kata yang halus dan sopan. Ia mengatakan bahwa bersedia dipersunting oleh Prabu Siliwangi apabila sang prabu berkenan datang ke Karawang. Setelah mendengar pengakuan itu, Mahapatih Argatala berserta para pengawal kembali ke Pajajaran. Ia menceritakan perihal mengenai Nyi Putri Subang di hadapan sang prabu. Dengan mengucapkan kata “hoooooooooong”, maka Sang Prabu Siliwangi dalam sekejap mata sudah berada di pondok pesantren Seh Kuro, Karawang. Sang prabu lansung meminang Nyi Putri Subang sebagai istrinya.
            Sang Putri Nyi Subang bersedia menjadi istri Sang Prabu Siliwangi dengan syarat lagi, yaitu meminta mas kawin yang berupa kalung bintang gemintang. Saat itu pula sang prabu termenung dan suasana menjadi hening. Ia merasakan bahwa permintaan calon istrinya itu tidak masuk akal, tetapi sang prabu yakin sanggup memberikan mas kawin itu. Maka dengan kata “hoooooooong”, sang prabu terbang secepat kilat menuju ke arah barat. Sang Prabu Siliwangi sampai di Negeri Mekah. Saat akan turun ke bumi, sang prabu melihat ada seorang kakek sedang tafakur di padang pasir. Kakek itu membawa tongkat yang mengkilap, dan terkesan menambah kesan angker si kakek, apalagi ia juga sedang berzikir. Saat menjelang malam, sang prabu masih termenung di padang pasir tidak jauh dari tempat kakek menjalankan zikir. Saat memandang ke langit, sang prabu melihat ada gemerlapan meluncur dari langit dan jatuh di depan kakek. Saat sang prabu akan mengambil bintang itu, ternyata sang kakek terlebih dahulu mengambilnya. Namun sang prabu tetap mendekat di hadapan sang kakek. Ia berterus terang memohon kepada sang kakek agar benda sakti itu diberikan kepadanya.
            “Baiklah, hai anak muda. Saya akan memberikan kalung bintang ini kepadamu. Syaratnya harus kamu taati. Kamu harus tut wuri handayani, artinya mengikuti dari belakang,” kata sang kakek.
            Lalu, berjalanlah sang prabu di belakang sang kakek. Ketika sang kakek meminta agar mengambil tongkat yang tertinggal, sang prabu langsung mencabut tongkat angker itu Namun, sang prabu tidak berdaya untuk mengangkat tongkat sang kakek. Kemudian sang kakek datang mengahampiri sang prabu. Sang kakek menyuruh sang prabu agar menirukan kalimat syahadat, “Asyhadu allaailaahailla lah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.”
            Setelah sang prabu mengapalkan kalimat syahadat itu, ia siap untuk mengucapkannya dengan perasaan hati terdalam. Saat dicabut, tongkat angker sang kakek dapat dicabut dengan amat mudah dan enteng. Setelah itu, sang prabu diberi kalung bintang gemintang itu. Ia mengucapkan banyak terima kasih kepada sang kakek. Saat sang prabu akan kembali ke negerinya, di pondok Seh Kubro, ia mengucapkan kata “hoooooooong”, tetapi sang prabu tidak segera dapat terbang melesat bagaikan kilat. Ia tetap saja berdiri di samping kakek. Melihat itu, sang kakek diam sejenak memandangi raut wajah sang prabu. Maka turunlah tangan sang kakek ke punggung sang prabu. Ia menyarankan agar sang prabu mengucapkan “Bismillahirahmanirrahaim.” Kemudian dengan membawa doa itu, Sang Prabu Siliwangi dapat terbang menuju ke pondok pesantren Seh Kubro.
            Dalam sekejap Sang Prabu sampai di hadapan Seh Kubro. Ia segera menyerahkan kalung bintang gemintang kepada Seh Kubro. Akhirnya pernikahan antara Sang Prabu Siliwangui dengan Sang Putri Nyi Subang dirayakan. Dari pernikahan tersebut, Prabu Siliwangi memiliki tiga orang anak putra bernama Walang Sungsang, Nyi Rara Santan, dan yang ketiga bernama Raja Sengara. Raja Sengara ini dikenal dengan sebutan Raden Kian Santang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"