Cerita Rakyat Nusantara "Asal Teri Nasi"


Cerita Rakyat Daerah Lampung   
11. Asal Teri Nasi

             Pada zaman nenek moyang dulu, ada seorang raja yang bernama Tuan Rio Mangkubumi. Ia pernah berperang melawan pemerintahan orang Palembang. Tuan Rio Mangkubumi gugur dalam medan perang dan dimakamkan di Pagar Dewa, Kampung Cakat Monasow. Pada saat berperang dan sebelum meninggal dunia, ia berpesan kepada anaknya yang bernama Minak Puti Pajurit, “Hai putraku terkasih, tolong saya jangan dikuburkan di dalam kampung sebab saya gagal memperjuangkan cita-cita kerajaan memenangkan perang ini. Saya merasa malu kepada tanah air kita. Saya juga berpesan kepadamu, hai putraku. Ingatlah jika engkau dapat mengalahkan Palembang maka akan hilanglah Kampung Pagar Dewa. Lalu saya kutuk anak cucu saya yang menikah dengan orang Palembang. Tebanglah semua tanaman dan tumbuhan kita yang condong ke arah Palembang.”
            Mendengar nasihat ayahnya, Minak Pati Pajurit bertekad melaksanakan segala pesan dari ayahnya yang sudah gugur itu. Setelah selesai membumikan jenasah Tuan Rio Mangkubumi, Minak Pati Pajurit berpetualang ke Banten. Ia memiliki sahabat di sana. Setelah sampai di Banten, Minak Pati Pajurit bertemu dengan sahabatnya, yaitu Sultan Banten. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Sultan Banten memahami cerita itu.
            “Saya turut berduka cita atas meninggalnya Tuan Rio. Bersabarlah, Minak. Mari kita susun taktik untuk mengalahkan Palembang. Saya sudah lama ingin beradu dengan Palembang. Tetapi, sebelum engkau berperang, hendaknya engkau mempersunting seorang wanita. Lamarlah Putri Balau, seorang putri Ratu Balau di Lampung. Setelah engkau memiliki permasuri, engkau dapat meneruskan maksudmu. Jika belum memiliki keturunan, siapa yang akan meneruskan tahta ayahmu?” kata Sultan Banten.
            Nasihat Sultan Banten didengarkan baik-baik oleh Minak Pati. Ia menerima segala ususlannya dan ia segera pulang ke Lampung didampingi beberapa prajurit pengawal. Dia menceritakan usul Sultan Banten kepada pamannya. Lalu Minak Pati mempersiapkan semua keperluan lamaran dengan Putri Balau. Berangkatlah Minak Pati bersama dengan keluarga kerajaan dan prajurit pengawal menuju ke Negeri Balau, Keraton Tanjungkarang. Mereka berlayar menyusuri Sungai Tulangbawang, melintasi Laut Jawa dan akhirnya sampai di Muara Way Lunik Telukbetung. Setelah berlabuh, mereka berjalan menuju ke Negeri Balau. Di negeri itu sangat dijaga ketat oleh prajurit kerajaan. Rupanya di kerajaan sedang ada acara besar. Ratu Balau mengundang negara tetangga untuk menyaksikan malam penentuan pemilihan satu dari empat puluh orang tunangan putrinya.
            Ratu Balau akan memilihi orang yang dapat menjawab dan memenuhi permintaannya. Suasana di dalam istana sangat riuh rendah karena banyaknya masyarakat yang menyaksikan persiapan acara puncak pemilihan tunangan itu. Para prajurit Kerajaan Balau sangat menjaga ketat dengan selalu menatap setiap gerak-gerik rombongan Minak Pati yang dianggap asing. Mereka melihat bahwa rombongan Minak Pati sangat menakutkan dan setiap harinya memakan rusa bahkan manusia panggang. Sebenarnya Minak Pati serombongan hanya berpura-pura agar mereka ditakuti karena Minak Pati diintai terus-menerus oleh prajurit Balau. Ia berpura-pura memakan daging manusia untuk mengelabuhi prajurit Balau. Selain itu agar Minak dapat menembus pertahanan rakyat dan pagar-pagar pohon hidup. Sembari menembus kerumunan rakyat, Minak Pati menebarkan recehan uang agar rakyat berebut.
            Sementara itu Ratu Balau segera membuka acara diiringi musik, nyanyian, dan tari-tarian. Tiba-tiba dayang-dayang putri berlarian menemui Ratu Balau dan mengatakan bahwa sang putri mendadak mengalami sakit, badannya lemas dan rona wajahya pucat. Ratu langsung memerintahkan untuk mencarikan tabib agar sang putri dapat segera disembuhkan dan nyawanya dapat diselamatkan. Menurut ahli nujum, sang putri tidak mengalami sakit berat. Ia hanya sedang menantikan kedatangan seseorang yang nantinya akan hidup bahagia. Hal itu yang mengganggu pikirannya.
            “Wahai, Ibu, apakah saya sedang mengalami mimpi? Beberapa malam ini saya bermimpi didatangi oleh seseorang yang sangat tampan. Pemuda itu asalnya dari arah utara Lampung dan datang ke sini untuk melamar saya. Saya sangat gelisah sebab pemuda dalam mimpi itu sangat memikat hati saya. Malam ini pun saya bermimpi bahwa saya akan dilamar dan dibawa ke negerinya,” ungkap sang putri kepada keluarganya.
            Setelah mendengar ungkapan sang putri, Ratu Balau langsung marah dan membentak, “Siapa yang akan membawamu pergi dari sini? Dasar pemuda tidak tahu malu! Ia sangat memalukan kerajaan ini, dan apa yang akan terjadi dengan empat puluh pemuda di luar sana?”
            Ratu Balau membentak sang putri dengan marahnya. Sang putri menangis karena ketakutan. Sementara di halaman istana, Minak Pati berhasil masuk disambut Ratu Balau. Semua tunangan sang putri menjadi marah melihat kedatangan Minak Pati, seorang asing yang berani masuk di Negeri Balau itu. Setelah sang putri merasakan kedatangan pemuda dalam mimpinya, ia segera bangun dan menyambut Minak Pati sambil duduk bersimpuh. Dalam hati sang putri sangat bahagia melihat sosok Minak Pati. Setelah menatap Minak Pati beberapa menit, sang putri berseru, “Wahai Ibu, relakanlah ananda pergi bersama-sama dengan Minak Pati membangun keluarga bahagia. Iklaskanlah ananda menjadi permaisurinya.”
            Perasaan Ratu Balau luluh setelah melihat kewibawaan Minak Pati. Ia merasa terharu ketika sang putri memohon restu untuk menjadi permaisuri Minak Pati. Ratu Balau yakin bahwa Minak Pati adalah orang yang sesuai dan sudah menjadi harapan putrinya. Lalu, Ratu Balau mengambil benda berbentuk cupu-cupu dan memberikannya kepada sang putri sambil berpesan, “Putriku, bawalah benda pusaka yang sederhana ini ke negeri suamimu, tetapi ingat wahai anakku, janganlah engkau buka selama perjalan. Bukalah saat engkau sudah sampai di kerajaan Minak Pati. Malam ini Ibu khawatir kerajaan kita akan runtuh karena serangan keempat puluh pemuda bekas tunanganmu itu.”
            Suasana menjadi berubah kacau sebab keempat puluh pemuda itu marah. Mereka akan meruntuhkan pemerintahan Ratu Balau. Lalu keluarlah Minak Pati Pajurit menantang empat puluh pemuda itu. Terjadilah perkelahian seru, pukul-memukul, banting-membanting, mengeluarkan kesaktian yang keluar dari dalam diri mereka. Menak Pati tidak kalah kuat setelah belajar ilmu dengan Sultan Banten. Ia benar-benar sakti mandraguna. Semua pemuda akhirnya dapat ditaklukkan oleh Minak Pati. Ratu Balau sangat senang melihat perjuangan Minak Pati yang gagah nan sakti itu. Akhirnya mereka mengadakan perpisahan keluarga setelah keluarga kerajaan dan rakyat Negeri Balau merayakan pesta pernikahan Minak Pati dengan Putri Balau.
            Setelah sang surya sudah menampakkan sinarnya yang terang di pagi hari, Minak Pati bersama rombongan berangkat. Mereka berlayar melintasi Selat Sunda, dan berlabuh di Banten. Mereka singgah di Kerajaan Banten. Sultan Banten bersama dengan keluarga kerajaan menyambut kedatangan Minak Pati. Mereka diajak untuk berkeliling Kerajaan Banten untuk mengenalkan semua keindahan dan kekayaan alam Kerajaan Banten. Di dekat pelabuhan, Minak Pati memandang ada tanah yang menjorok ke laut. Ingat ingat bahwa di kampung juga ada pemandangan serupa, dan dinamakan bujung, maka oleh Minak Pati tempat itu dinamakan Bojong. Tanpa disadari, Minak Pati dan istrinya bersama rombongan sudah sepekan singgah di Kerajaan Banten.
            Minak Pati memohon pamit kepada Sultan Banten untuk pulang ke Negeri Pagar Dewa. Ia khawatir bahwa kepergiannya sudah terlalu lama. Namun, memang benar, rakyat Negeri Pagar Dewa merindukan Minak Jingga. Setelah beberapa hari, sampailah Minak Pati ke kampungnya. Ada beberapa orang melihat Minak Pati dan langsung mengabarkan ke seluruh penduduk kampung untuk menyambut kedatangan Raja Minak Pati. Setelah berjalan, Minak Pati teringat lagi bahwa ia pernah memberikan nama Bojong ketika berada di Negeri Banten. Lalu ia memberikan nama Bujung sebagai pintu gerbang Kerajaan Tulang Bawang.
            Putri Balau masih membawa cupu yang diberikan oleh Ratu Balau. Ia segera membuka dengan perlahan-lahan. Setelah dibuka, Minak Pati terkejut melihat isi di dalam cupu itu. Ada banyak sekali ikan-ikan kecil berlompatan atau teri nasi dari dalam cupu itu. Ikan-ikan kecil itu langsung masuk ke air di Muara Betut. Ikan-ikan kecil itu sampai sekarang masih hidup di Betut Bujung Tulang Bawang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"