Cerita Rakyat Nusantara "Cerita Ulama"
Cerita Rakyat Daerah Aceh
8. Cerita Ulama
8. Cerita Ulama
Pada suatu hari, ada seorang ulama
di suatu kampung yang asri dan sederhana. Ulama itu memiliki dua orang anak
laki-laki. Anak pertama rajin mengaji dan beribadah, sementara anak yang kedua
terkenal sebagai anak yang terpandai di sekolahnya. Kedua anak ulama itu
dikenal baik oleh masyarakat kampung. Tidak pernah melakukan hal-hal yang
melanggar hukum adat.
Ketika
sedang santai di ruang keluarga, ulama berkata kepada istrinya, “Ibu, kita
sekeluarga harus pindah dari kampung ini.”
Mendengar
perkataan suaminya, lalu istrinya menjadi terbelalak kedua matanya, katanya,
“Ada apakah gerangan, wahai, Ayah? Mengapa kita harus pindah meninggalkan
kampung ini?” Ulama
itu segera menjelaskan pertanyaan dari sang istri, “Ibu, andaikan kita tidak
segera pindah dari sini, kita akan mendapat dosa besar dari Allah! Lihatlah,
orang-orang di sini tidak pernah mau untuk menjalankan ibadah. Jadi kita harus
pindah! Rumah ini dan kebun kelapa kita jual, pohon kelapa kita tebang dan jual
juga.”
Lalu
sang istri mengikuti perintah ulama. Rumah, kebun dan pohon kelapa dijual
habis. Uang yang terkumpul sangat banyak sehingga bisa untuk membeli sebuah
kapal. Ulama bersama istri dan kedua anaknya berangkat berlayar menggunakan
kapal dengan membawa barang dan perbekalan makanan selama berlayar di lautan.
Selama tiga bulan mereka berempat berlayar mengarungi lautan luas tanpa bisa
diukur seberapa luasnya jangkauannya. Saat menjelang senja tiba-tiba suasana
tenang alam berubah menjadi gemuruh petir yang berkilat-kilat. Kilatan petir
menyambar kapal yang mereka tumpangi. Seketika kapal pecah akibat kedahsyatan
sambaran petir.
Ulama
itu kebetulan terdampar pada suatu pulau. Saat sudah tersadar, ulama segera
bangun dan beranjak pergi mencari tempat air untuk berwudu. Ulama berjalan
mengitari pulau itu mencari ember tetapi tidak kunjung menemukannya. Di
depannya terdapat sebuah pohon yang sangat besar, di bawahnya ada gua yang
tidak cukup dalam. Di dalam gua itu ada genangan air yang sangat jernih. Di
situlah ulama mengambil air untuk berwudu dan minum. Saat mengais air,
terdengar suara orang memanggil dari dekatnya. “Hai, Tengku! Di depanmu ada
sebuah guci kecil. Ambilah dan pakailah! Guci itu adalah harta terpendam
peninggalan orang-orang terdahulu yang diperuntukkan bagimu.” Setelah
mendengar perkataan itu, ulama melihat bahwa di depannya benar-benar ada sebuah
guci. Guci itu diangkat keluar lalu diputar tutupnya dan dibuka secara
perhalan. Keluarlah intan berlian yang berlimpah dari dalam guci itu. Ulama
terkejut dan menahan bahagia. Lalu diambil semua berlian itu dan dibungkus
dengan kain sajadah. Lalu guci itu ditutup dan dikembalikan di tempat semula.
Setelah mengembalikan guci, ulama teringat akan nasib istri dan kedua anaknya.
Anak
yang pertama terdapar di sebuah pelabuhan dan diambil oleh seorang pengail.
Anak itu dibawa pulang ke rumahnya dan dijadikan sebagai anak angkat. Keesokan
harinya pengail dan anak itu pergi memancing di laut. Setelah mendapat ikan
yang cukup banyak, mereka berdua pulang. Saat perjalanan pulang, tiba-tiba datang
sebuah kapal barang yang memuat kain, gula pasir, dan barang-barang dagangan
lainnya. Lalu turunlah seorang nahkoda kapal ke darat yang akan menjual barang
dagangannya. Nahkoda itu berpenampilan gagah dengan perhiasan emas di kalung
dan jemarinya. Saat nahkoda mendekati anak itu, lalu bertanyalah, “Hai, Nak. Di
manakah letak kota ini? Apakah masih jauh dari sini? Maukah kamu mencarikan
seorang agen untuk barang-barang saya ini?”
Setelah
mendapat kepercayaan dari sang nahkoda, si anak segera menyatakan sanggup
mencari orang-orang yang mau membeli barang-barang dagangan itu. Setelah
diujinya, anak itu lancar menulis dan menyusun pembukuan, sehingga anak itu
dijadikan sebagai perantara dagang antara nahkoda dengan para agen di kota
setempat. Lalu berangkatlah anak itu menuju ke kota untuk menghubungi
pedagang-pedagang kain dan pecah belah. Lalu berdatanglah beberapa pedagang
besar maupun kecil untuk membeli barang-barang yang ada di kapal. Setelah sore
hari, semua barang yang ada di kapal habis terjual. Sang nahkoda merasa kagum
akan kecerdikan si anak sebab semua barang di kapal habis terjual secara cepat.
Atas kepandaian si anak dalam menjalin hubungan dengan para pedagang, sang nahkoda
memberikan imbalan berupa uang komisi dan hadiah lainnya. Nahkoda memberitahu
kepada si anak bahwa ia akan sering singga di situ seminggu sekali. Sang
nahkoda masih sangat berharap akan jasa dari si anak di lain hari.
Sedangkan
yang terjadi pada si bungsu ternyata dihanyutkan ombak lautan hingga ke negeri
Mesir. Ia diselamatkan oleh seorang wanita tua saat mencari tiram di pantai.
Wanita tua itu ternyata tidak mempunyai anak dan ia ingin menjadikan si bungsu
sebagai anak angkatnya. Ketika sampai di rumah, ia langsung menanak nasi untuk
si bungsu. Sembari menunggu nasi, si bungsu mengaji di dalam kamar. Suaranya
terdengar tetangga sebelah, sehingga mereka berdatangan karena penasaran. Semua
tetangga yang datang terpukau mendengar suara lantunan si bungsu mengaji. Pada
malam harinya para tetangga datang lagi dengan membawa beras, telur, uang, dan
lain sebagainya. Perempuan tua itu sangat bahagia karena banyak orang yang
bersedekah karena kedatangan si bungsu.
Lalu
yang terjadi pada si ibu diselamatkan oleh seorang nahkoda kapal yang sedang
melintas dan melihat si ibu terapung-apung di atas papan. Oleh nahkoda kapal,
si ibu diberi sebuah kamar khusus. Ternyata nahkoda tertarik terhadap si ibu
dan ingin menikahinya. Dalam perlayarannya, kapal kehabisan air minum dan
terpaksa berhenti. Lalu seorang awak kapal turun ke darat dan sampailah ia di
bawah pohon besar yang rindang. Di atas pohon, awak kapal melihat ada seorang
laki-laki yang sedang beribadat di bawahnya ia memanjat. Lalu awak kapal
mengambil air dan memberikan uang kepada laki-laki itu, tetapi tidak diterima.
Laki-laki itu justru memberikan sebutir intan kepada awak kapal dengan harapan
agar ia diberi imbalan selembar kain untuk beribadah. Lalu awak kapal kembali
ke kapal dan menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada nahkoda.
Setelah menerima intan, nahkoda berpikir bahwa selama ini belum pernah ia
menemukan intan yang ia harapkan. Tanpa berpikir panjang, sang nahkoda berniat
untuk menemui laki-laki tadi dengan membawa beberapa helai kain yang bersih,
gula pasir, dan beras. Setelah menerima imbalan tersebut, laki-laki itu sangat
bergembira, padahal barang-barang itu harganya tidak semahal sebutir intan yang
ia berikan kepada awak kapal.
Pada
hari berikutnya, nahkoda datang bersama dnegan beberapa orang tukang kayu untuk
mendirikan rumah. Tidak lama kemudian, rumah sudah berdiri. Melihat rumah
barunya, laki-laki itu sangat senang. Saat nahkoda akan pergi, laki-laki itu
memberikan beberapa butir intan lagi. Lalu nahkoda bertanya, “Bapak, besok saya
akan ke sini lagi dengan membawa beberapa puluh pekerja agar mereka bekerja di
sini menanam cengkeh dan lada”.
Laki-laki
itu menjawab, “Iya, boleh. Bawalah orang-orang ke sini agar saya ajak untuk
belajar mengaji dan beribadah. Namun, saya ada permintaan. Tolonglah saya.
Carikan saya dua orang anak laki-laki, yang satu pandai mengaji dan yang
satunya anak terpandai di sekolahnya. Mereka berdua adalah anak yang baik,
tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar adat. Mereka waktu itu hilang
terhempas ombak akibat disambar petir.”
Lalu
sang nahkoda berangkat menuju ke Jedah untuk mencari anak yang pandai. Setelah
ditemukan dan mendapat izin dari orang tuanya, anak yang pandai dibawa pulang. Lalu
pelayaran dilanjutkan ke Mesir untuk mencari anak yang pandai mengaji. Di sana,
nahkoda menemukan anak itu. Lalu kedua anak itu dibawa pulang dan diserahkan
kepada laki-laki itu. Laki-laki itu sangat bahagia sebab kedua anaknya yang
baik telah kembali. Setelah tugas nahkoda selesai, maka laki-laki itu meminta kepada
nahkoda agar mau bermalam di rumahnya. Namun, nahkoda berat hati karena tidak
ada yang menjaga seorang perempuan di atas kapal. Mereka berdua akhirnya
memahami bahwa kedua anak laki-laki itu dapat ditugaskan untuk menjaga
perempuan tidur di dalam kamar kapal.
Kemudian
kedua anak itu di antar kapal dan melaksanakan tugas berjaga-jaga agar tidak
ada orang yang masuk ke kamar istri nahkoda. Mereka berdua bercerita tentang
pengalaman yang dialami selama di negeri seberang untuk mengusir kantuk. Anak
pertama memulai cerita, katanya, “Sebelum saya berada di sini, ayah saya
menjual rumah dan tanah untuk membeli sebuah kapal. Lalu kami sekeluarga pergi
meninggalkan kampung karena penduduk kampung tidak ada yang pernah mau
beribadah dan mengaji. Saat di tengah lautan selama tiga bulan, tiba-tiba kapal
kami disambar petir dan kami terpisah oleh ombak. Saya sendiri terdampar di
sebuah pelabuhan Mesir dan diselamatkan oleh perempuan tua saat sedang
mengambil tiram.”
Setelah
selesai bercerita, si bungsu giliran untuk bercerita, “Nasibmu hampir sama
dengan nasibku. Pengalamanku tidak jauh berbeda dengan semua yang kamu
ceritakan.”
Mendengar
perkataan itu, anak pertama justru tidak senang karena menganggap bawah ia
mengada-ada. Mereka berdua mempertahankan ceritanya masing-masing sehingga
justru perkelahaian yang muncul di antara mereka. Sedangkan perempuan itu
terbangun karena mendengar cerita kedua anak itu sampai bertengkar. Dia yakin
bahwa kedua anak itu merupkan anaknya yang telah terpisah saat kapalnya hancur
berkeping-keping di tengah lautan. Saat fajar mulai menyingsih dari ufuk timur,
perempuan itu bangun. Ia laporan kepada nahkoda bahwa tadi malam kedua anak itu
menggedor-gedor pintu kamarnya. Perempuan itu meyakini bahwa mereka berdua
disuruh oleh laki-laki untuk terus mengetuk pintunya. Lalu si istri mengajak
mereka semua turun ke darat untuk memastikan bahwa kedua anak laki-laki itu
memang diutus oleh laki-laki itu. Setelah sampai di darat dan bertemu dengan
laki-laki itu, si istri terkejut dan gembira sebab suaminya masih hidup. Mereka
semua berangkulan melepaskan rindu sambil menangis tak henti-henti. Laki-laki
tua itu ternyata sang ulama. Dan, ia menceritakan semua peristiwa kepada
nahkoda. Lalu wajah nahkoda tercengang mendengar dan menyaksikan peristiwa itu
sambil mengucap syukur. Demikian juga yang terjadi pada orang-orang pekerja si
sekitar rumah sang ulama menyaksikan kejadian mengharukan itu.
Komentar
Posting Komentar