Cerita Rakyat Nusantara "Malin Kundang"
Cerita Rakyat Daerah
Sumatera Barat
24. Malin Kundang
24. Malin Kundang
Alkisah, di daerah Pantai Air Manis,
Sumatera Barat, hidup seorang janda. Ia memiliki seorang anak laki-laki yang bernama
Malin. Malin adalah anak yang tampan dan
taat beribadah. Ia sangat disayang oleh Ibunya karena ia selain taat beribadah
juga rajin membantu pekerjaan Ibunya. Ke mana pun Ibunya pergi bekerja, Malin
selalu diajaknya sehingga ia sering disebut ‘kundang-kundang’, artinya selalu
dibawa-bawa. Maka ia lebih dikenal dengan nama Malin Kundang.
Malin Kundang sangat senang bermain
di pantai karena rumahnya tidak jauh dari pantai. Terkadang tetangganya sering
mengajaknya naik perahu dan berlayar ke laut. Malin sangat menikmati keindahan
alam laut dengan perahu temannya itu.
“Suatu saat aku akan memiiliki kapal
yang besar dan bisa berlayar mengarungi samudera sana. Aku akan melihat
keindahan alam laut di seberang sana yang mempesona,” ujar Malin Kundang.
Lalu karena harapan itu sudah bulat
di dalam hatinya, ia mulai lebih giat bekerja. Karen usianya masih remaja, ia hanya bisa melakukan pekerjaan
ringan yaitu menggulung jaring dan membersihkan kapal nelayan. Hingga suatu
hari saat ia membersihkan geladak kapal ia tidak sengaja membentur tiang, dan
kepalanya menjadi benjol dan akirnya meneteskan darah yang mengalir deras
melalui keningnya.
Ibu Malin Kundang tampak kebingungan
melihat anaknya terluka parah, apalagi di kepalanya. Namun, ia segera mengobati
luka si Malin dengan obat-obatan tradisional. Luka Malin sembuh setelah
beberapa hari. Namun luka itu membekas berupa garis hitam sepanjang lima
sentimeter. Seiring berjalannya waktu, usia Malin Kundang bertambah dewasa. Ia
tumbuh menjadi pemuda yang gagah, ulet, pemberani, dan tambah tampan wajahnya.
Ia sudah berani melaut dan menangkap ikan-ikan besar. Ia sadar bahwa
kehidupannya miskin.
Menyadari akan keadaan hidup yang
miskin, Malin Kundang berencana merantau untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik. Saat ia mengungkapkan keinginannya, Ibunya justru sedih karena
ditinggalkan putera kesayangannya, dan Ibunya hidup sendirian.
“Wahai, anakku Malin Kundang. Ibu
sangat berat hati harus melepaskanmu pergi merantau,” kata Ibunya.
“Malin berjanji, Bu. Malin akan
segera memberi kabar. Malin akan secepatya kembali ke rumah menemui Ibu jika
Malin sudah mendapatkan pekerjaan yang layak,” ucap Malin.
Akhirnya Malin berpisah dengan Ibu
kesayangannya di pantai. Tampak mereka berdua saling meneteskan air mata
kesedihan.
“Ya Allah, lindungilah putera hamba,
Malin Kundang. Berilah jalan yang lancar dan kesehatan yang baik. Semoga putera
hamba berhasil mencari pekerjaan yang baik,” doa Ibu.
Hari berganti hari. Bulan berganti
bulan hingga beberapa tahun. Sudah bertahun-tahun ternyata Malin Kundang tidak
memberi kabar dan tidak segera pulang dari perantauan. Setiap hari Ibu Maling
selalu bertanya kepada para nelayan yang baru saja kembali dari melaut. Namun
tidak ada seorang nelayan yang mengetahui keberadaan Malin Kundang. Pada suatu
hari, pulanglah seorang nelayan yang mengabarkan bahwa dia baru saja berjumpa
dengan Malin Kundang.
“Ibu, saya baru saja bertemu dengan
Malin Kundang. Ia sekarang sudah menikah dengan seorang putri saudagar kaya di
tanah seberang. Ia sekarang hidup bahagia dan kaya raya, serba berkecukupan,”
cerita nelayan itu.
Mendengar kabar tersebut, Ibu Malin
langsung terharu bahagia karena anaknya telah menjadi orang yang berkecukupan
bahkan berkelimpahan. Namun semua itu belum cukup, karena kerinduan Ibu kepada
Malin Kundang belum terpenuhi. Setelah beberapa bulan, keinginan Ibu Malin
dapat terwujud. Ada sebuah kapal besar sedang berlabuh di Pantai Air Manis.
Semua penduduk melihat kegirangan ada kapal besar dihiasi pernak-pernik indah
yang datang. Tiang-tiang kapalnya kokoh menopang layar yang lebar. Ternyata
tuan kapal itu adalah Malin Kundang. Penduduk bersorak-sorai melihat Malin
Kundang telah kembali dengan istrinya yang cantik dan berkelimpahan. Pakaian
mereka sangat bagus dan perhiasan yang mereka kenakan berkilauan. Mereka berdua
melambaikan tangan kepada penduduk Pantai Air Manis.
Ibu Malin Kundang yang sedang
mencari rumput laut segera ingin melihat puteranya, tetapi berdesak-desakan
dengan penduduk. Ibu Malin langsung terharu bahagia sampai menangis melihat
puteranya itu.
“Ya Allah, Engkau sungguh baik!
Malin Kundang, anakku, akhirnya engkau pulang juga. Ibu sangat merindukanmu,
wahai anakku,” ucap Ibu Malin.
Istri Malin menjadi terkejut saat
ada seorang wanita tua miskin mengaku sebagai Ibu suaminya, sambil bertanya,
“Kakanda, apakah benar wanita tua kumal ini Ibumu?”
Mendengar pertanyaan istrinya itu,
Malin menjadi malu. Ia sangt malu kepada istrinya sehingga Malin mengelak.
“Ah, mana mungkin. Dia bukan orang
tuaku. Wanita tua renta ini bukan Ibuku. Dia hanya mengaku-ngaku saja supaya
mendapatkan imbalan uang. Tapi aku beri saja dia uang. Kasihan sekali,” jawab
Malin.
Mendengar jawaban Malin, Ibu Malin
tersedak dan menangis tidak percaya dengan ucapan puteranya.
“Aku bukan anakmu, wahai nenek tua.
Kau pasti salah melihat. Ibuku tidak seperti dirimu ini!”, elak Malin.
“Tidak mungkin! Engkau adalah
anakku. Ibu tidak lupa dengan dirimu, Malin. Ibu hapal betul dengan bekas luka
di keningmu itu,” kata Ibu.
Malin Kundang menjadi bertambah
malu. Dan ia menutupi rasa malunya dengan membentak dan memarahi Ibunya
sendiri. Malin Kundang segera mengajak istrinya masuk ke dalam kapal dan
meninggalkan Pantai Air Manis. Penduduk yang berkumpul mengetahui akan
perbuatan Malin terhadap Ibunya yang sudah membesarkannya. Ibu Malin menjadi
sangat sedih dan meratapi perbuatan anaknya itu. Ia hanya berpasrah diri di
hadapan Tuhan.
“Ya Allah, mengapa Malin justru
melakukan perbuatan ini? Mengapa dia tidak menganggap hamba sebagai Ibunya?
Jika dia benar-benar anakku, hamba bersumpah Malin menjadi batu!”, kata Ibu
Malin.
Saat malam tiba, Ibu Malin masih
menangis terisak-isak dan ditemani oleh tetangganya. Malam itu juga terjadi
hujan lebat sekali disertai badai dan petir yang berkali-kali meledak. Angin
badai berputar-putar di lautan. Air laut menjadi pasang dan gelombang meninggi.
Seluruh penduduk kampung sangat ketakutan. Kapal Malin Kundang yang sedang
berlayar terombang-ambing oleh gelombang dan terhempas kuat oleh badai.
Tiba-tiba tiang kapal Malin tersambar petir dan kapal menjadi oleng. Kapal
akhirnya tenggelam di samudera.
Saat pagi-pagi, penduduk berkeliling
di pantai dan memeriksa perahu-perahunya. Ibu Malin juga ke pantai untuk
mencari ikan-ikan yang terdampar. Penduduk terkejut karena menemukan
serpihan-serpihan kapal yang bukan buatan mereka. Selain itu ada juga
kepingan-kepingan batu yang berserakan di sekitar pantai. Penduduk setempat
mempercayai bahwa kepingan batu itu berasal dari kapal Malin. Mereka percaya
juga bawah sumpah Ibu Malin telah dikabulkan Tuhan. Akhirnya, Ibu Malin Kundang
hanya dapat pasrah dan tabah melihat puteranya yang berbuat demikian. Tidak
menghormati Ibunya sehingga berubah menjadi batu.
Komentar
Posting Komentar