Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"
Cerita Rakyat Daerah Nusa
Tenggara Barat
13. Batu Golog
13. Batu Golog
Pada zaman dahulu hiduplah sepasang
suami istri yang miskin. Mereka hidup di daerah Batu Golog. Sang istri bernama
Inaq Lembain dan suaminya bernama Amaq Lembain. Keadaan mereka sungguh miskin
dan sangat melarat. Inaq Lembain bekerja sebagai buruh upahan menumbuk padi
untuk kebutuhan makan kedua anaknya. Sedangkan suaminya, Amaq Lembain bekerja
di hutan hanya untuk mencari kayu bakar dan dijual untuk mencukupi kebutuhan
makan karena tidak punya sawah. Terkadang mereka tidak makan seharian. Kedua
anaknya laki-laki dan perempuan yang masih anak-anak.
Suatu hari, seperti biasa Inaq
Lembain akan berangat menumbuk padi di daerah tempat tinggal. Namun, kedua
anaknya sudah merasakan lapar, ingin makan. Lalu dengan berat hati Inaq Lembain
pergi meninggalkan kedu anaknya. Setelah memperoleh pekerjaan, Inaq Lembain
mempersiapkan peralatan menumbuk padi di halaman rumah tetangganya. Ia sangat
bersyukur karena masih ada orang yang menolongnya agar diberi upah karena
beberapa kali Inaq Lembain ditolak. Setelah selesai mempersiapkan peralatan
menumbuk, Inaq Lembain kembali ke rumah dan menjemput kedua anaknya.
“Mari, Nak, ikut Ibu dan jangan
mengganggu Ibu waktu bekerja nanti, ya. Nanti setelah Ibu selesai menumbuk
padi, Ibu akan menanak nasi untuk kita makan. Sabar dulu, ya anakku,” pesan
Inaq Lembain terburu-buru.
Kedua anaknya didudukkan pada sebuah
batu besar tidak jauh ia menumbuk padi. Inaq Lembain bekerja dengan begitu
kuatnya. Suara tumbukan padi itu menimbulkan bunyi seperti kentungan. Tidak
lama kemudian terdengarlah suara ketakutan dari arah kedua anaknya itu. Tempat
duduk batu mereka terasa semakin naik dan seperti diangkat dengan kekuatan yang
besar. Mereka berdua ketakutan dan berteriaklah, “Ibu, Ayah, tolong aku! Batu
ini terangkat. Aku takut!”
“Oh, anakku, tunggu sebentar. Tidak
lama lagi Ibu menyelesaikan ini. Nanti dulu ya, Nak. Sabar, sebentar lagi
selesai,” jawab ibunya.
“Ibu! Cepat ke sini! Tolong aku, Bu.
Batunya semakin tinggi terangkat. Ibu, dengarkan suaraku ini,” teriak anak
pertama.
“Iya, anak-anakku yang baik. Sabar,
ya. Tunggu sebentar lagi. Ibu masih sibuk menumbuk padi ini,” tangkas Ibu tidak
peduli.
Batu Golog itu tetap semakin naik ke
atas, dan semakin tinggi. Batunya semakin tinggi ke atas dan hampir setinggi
pohon kelapa yang sudah berbuah. Inaq Lembain tidak memperhatikan teriakan
anak-anaknya karena berpikir bahwa sebelum selesai menumbuk padi, ia tidak akan
menyentuh anak-anaknya. Batu itu tidak berhenti sampai setinggi pohon kelapa,
tetapi tetap semakin ke atas melebihi tinggi pohon kelapa. Anak-anak terus
berteriak meminta tolong kepada ibunya agar segera menghampirinya. Namun,
ibunya tetap tidak mendekat. Menoleh pun tidak.
“Oh, kenapa Ibu begitu tega kepada
kita? Mengapa Ibu tidak peduli kepada kita, ya? Setinggi ini kita sekarang
duduk di atas batu ini, dan tidak akan mungkin lagi Ibu menggapai kita,” ucap
anak kedua.
“Tung, teng, tung, teng,” bunyi alu
padi itu terus berbunyi. Pekerjaan Inaq Lembain belum selesai. Ia terus
bekerja. Masih terdengar suara anaknya memanggil-manggil Inaq Lembain agar
segera menolong.
“Ibu Lembain, tolonglah kami berdua.
Batu Goloq ini semakin tinggi. Apakah Ibu tidak mendengarkan kami berteriak
meminta tolong?” pinta anak kedua.
“Iya, sebentar lagi selesai.
Sabarlah anak-anakku. Tunggu dulu, ya. Ibu masih menampi beras dan sebentar
lagi selesai,” jawab Inaq Lembain kepada anak-anaknya.
Batu Golog itu semakin tinggi dan
angin terasa keras menerpa kedua anak itu. Sementara Inaq Lembain masih menampi
dan membuang antah yang masih tersisa. Beras yang sudah bersih diletakkan di
wadahnya. Sebentar lagi pekerjaannya selesai dan sama sekali tidak menoleh ke
arah kedua anaknya didudukkan di atas batu. Kedua anak itu bersahut-sahutan
memanggil Inaq Lembain lagi.
“Ibu, Batu Golog ini semakin tinggi.
Lihatlah ke atas sini, Ibu. Apakah Ibu tidak mendengar kami?” kata kedua anak
itu hampir menangis.
“Tunggu sebentar saja, anakku. Nanti
Ibu akan menanak nasi. Sabar, ya. Antah ini masih tinggal sedikit. Sebentar
lagi selesai,” jawab ibunya masih bekerja.
Setelah Inaq Lembain melanjutkan
pekerjaannya yang terakhir, menyisihkan antah dari beras dan membereskannya.
Ketika hampir beres, suara kedua anaknya terdengar lagi tetapi sayup-sayup.
Inaq Lembain sepintas memandang ke atas tetapi tidak melihat keberadaan anaknya
karena sudah terlalu tinggi mereka ke atas bersama dengan Batu Golog itu.
Setelah itu Inaq Lembain diberi upah dan beras secukupnya untuk makan selama
beberapa hari. Inaq Lembain merasa gembira sebab sudah mendapatkan rejeki yang
cukup. Lalu ia menanak beras di dapurnya, di bawah atap kayu yang sudah rapuh.
Tak lama kemudian, nasi sudah tanak dan segera dibubuhi garam agar ada sedikit
rasa asin. Inaq Lembain langsung keluar dan ingin menjemput anaknya yang
ditempatkan pada Batu Golog. Namun, ia justru terkejut karena keberadaan Batu
Golog yang besar itu telah tiada. Ia mengamati ke atas awan dan ternyata ia
sekarang sudah bisa melihat Batu Golog itu yang berukuran sangat kecil. Ia
langsung tidak sadarkan diri karena ia yakin bahwa kedua anak telah terbawa
oleh kekuatan Batu Golog naik ke atas.
Para tetangga yang melihat Inaq
Lembain langsung menolongnya dan disadarkan. Dalam hatinya, ia merasa sangat
menyesal dan kecewa terhadap dirinya sendiri yang meremehkan permintaan tolong
anaknya. Ia menangis begitu kerasnya dengan melontarkan kata-kata penyesalan.
Pikiran dan hatinya menjadi kacau seperti seutas benang yang terlilit.
Akhirnya Inaq Lembain pasrah di
hadapan Tuhan, “Ya Tuhan, ampunilah hambaMu ini yang berdosa. Berilah hamba
jalan terang agar dapat bertemu lagi
dengan kedua anakku. Sungguh hamba menyesal akan perbuatan hamba. Tidak ada
maksud hamba mengabaikan mereka. Hamba hanya berharap agar pekerjaan cepat
selesai dan mereka dapat segera makan.”
Setelah mengungkapkan penyesalan dan
permohonan kepada Tuhan, Inaq Lembain membuka sabuknya dan meneruskan doa, “Oh
Tuhan, bantulah hambaMu yang berdosa ini. Semoga sabuk ini Engkau berkati agar
dapat membelah Batu Golog dan hamba dapat bertemu dengan kedua anak hamba.”
Amaq Lembain, suaminya juga hanya
bisa pasrah dan tak berdaya. Setelah itu, Inaq Lembain menebaskan sabuknya ke
arah Batu Golog. Sungguh ajaib kekuatan sabuk itu. Batu Golog langsung terbelah
menjadi tiga bagian dan jatuh ke bumi. Batu yang pertama jatuh di Desa Gembong
karena suara hantamannya yang besar sehingga tanah bergetar. Belahan batu yang
kedua jatuh di Desa Dasan Batu karena saat jatuh ada orang yang melihat.
Sedangkan potongan yang ketiga jatuh di Montong Teker sebab, bunyi hantaman
Batu Golog itu menggelegar bagaikan suara guruh petir.
Sampai saat ini ketiga pecahan Batu
Golog itu masih dapat dilihat dan dikeramatkan oleh penduduk sekitar bahkan
memberikan aura angker. Selain itu juga sering dijadikan sebagai tempat
berziarah mencari ketenangan batin. Ada yang bercerita bahwa kedua anak itu
tidak jatuh bersama dengan Batu Golog, tetapi tetap tinggal di langit berubah
wujud menjadi burung. Anak perempuan itu menjadi burung kekuwo sementara
adiknya menjadi burung kelik. Dan itulah sebabnya kedua burung itu tidak dapat
mengerami telurnya, karena pada dasarnya berasal dari manusia. Agar telur
burung kekuwo dan burung kelik dapat menetas selalu melepaskan telurnya di
sangkar burung gagak.
Komentar
Posting Komentar