Cerita Rakyat Nusantara "Gantung Sirah"


Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta    
   

21. Gantung Sirah
            Pada zaman pemerintahan Mataram yang dipimpin Pangeran Mangkubumi, terjadi pemberontakan terus-menerus. Penyelesaiannya di Desa Giyanti ternyata membawa pengaruh kuat terhadap daerah-daerah wilayahnya. Pada saat itu bupati Gunung Kidul masa pemerintahan Tumenggung Pancadirja, memiliki beberapa saudara yaitu, Pancasedewa, Pancabenawi, dan lain-lain. Mereka tinggal di Desa Nglipar, Ngawen, Karangmaja, Semanu, dan Pojong.
            


Perdamaian “Ontran-ontran Pangeran Mangkubumi”, di Desa Giyanti menyatakan bahwa Kabupaten Gunung Kidul merupakan sebelah Barat Batas (kikis), daerah kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Namun, Pancadirja tidak mau melihat kenyataan tersebut karena tetap ingin agar kabupatennya di bawah kekuasaan Sri Mangkunegara. Hal ini disebabkan bahwa Sri Mangkunegara masih memiliki padepokan di Ngawen sehingga kemungkinan Sri Mangkunegara masih memberatkan hati untuk meinggalkan padepokan miliknya. Lalu, Pancadirja mengundang saudara-saudaranya untuk berunding mengenai rencana mengadakan kraman pada Keraton Ngayogyakarta.
            Sementara orang-orang lain yang dianggap penting dan berpengaruh, diundang untuk terlibat dalam rundingan pemberontakan. Salah satu yang diundang yaitu Kiai Gantung Sirah. Ia diangkat sebagai senapati perang pemberontakan. Persiapan perang telah dibulatkan oleh pimpinan Kiai Gantung Sirah. Dalam keadaan demikian, Sri Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi), mengambil taktik dan siasat menghadapi serangan pemberontak yang tiba-tiba datang. Sri Sultan mengutus prajurit sandi untuk memantau daerah Gunung Kidul. Setelah mengetahui keadaan bupati Gunung Kidul, keyakinan bahwa Bupati Pancadirja bersama saudara-saudaranya akan melakukan pemberontakan terhadap keraton. Maka prajurit sandi segera mengutus bawahannya agar melaporkan hal pemantauan kepada Sri Sultan.
            Sri Sultan akhirnya mengetahui rencana besar Pancadirja. Sri Sultan segera mempersiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh Pangeran Natapraja atau Natapraja Papak. Pangeran Natapraja masih merencanakan waktu pemberangkatan pasukan, kemungkinan secara diam-diam atau secara langsung bertemu di medan perang. Sementara di Gunung Kidul, utusan sandi sesumbar dan menantang Bupati Pancadirja untuk mengadu ayam jago, karena memang itu kesukaannya. Dalam pertarungan ayam jago itu, ternyata jago milik bupati lebih galak dan kuat. Pukulan-pukulan sayap maupun serangan cakarnya lebih berbahaya. Utusan sandi melirik ke arah bupati, dan didapati sedang duduk mematung. Utusan sandi mengetahui bahwa bupati menggunakan kekuatan tidak sewajarnya yang dimasukkan di tubuh ayam jagonya. Lalu utusan sandi menjajaki kekuatan Bupati Pancadirja agar dapat memusatkan kemampuannya secara diam-diam agar dapat menyalurkan kekuatan saktinya.
            Penonton tampak ramai menyaksikan tarung ayam jago itu. Kebanyakan dari mereka melakukan taruhan dan memihak kepada ayam jago Pancadirja. Tiba-tiba suasana menjadi tegang dan sunyi karena melihat bahwa ayam jago utusan sandi mulai menjadi galak dan garang. Ayam jago miliki Pancadirja justru mulai ketakutan, sementara Pancadirja sendiri berkeringat dan gelisah. Akhirnya, pukulan dan cakaran ayam jago utusan sandi mampu mengalahkan kekuatan ayam jago Pancadirja. Namun saat jagonya kalah, Pancadirja juga mendadak menjerit kesakitan. Saudara-saudaranya dan penonton menjadi terheran-heran. Mereka segera menolong Pancadirja. Begitu seterusnya saat ayam jago Pancadirja mendapat serangan ayam jago utusan sandi, ia menjerit kesakitan dalam duduknya mematung itu. Penonton memperhatikan gelagat bupati, selain memperhatikan arena pertarungan. Ki Gantung Sirah sudah mencurigai hal itu, tetapi ia dapat memaklumi bahwa utusan sandi keraton itu adalah orang tersakti dari Desa Seneng.
            Tubuh Bupati Pancadirja menjadi gemeteran seperti akan jatuh. Napasnya tersengal-sengal tidak beraturan, dan keringatnya mengucur deras. Keadaan ayam jago Pancadirja sudah berlumuran darah dan tenaganya mulai berkurang, bahkan hampir jatuh. Utusan sandi yakin bahwa ia akan mengalahkan Bupati Pancadirja. Tiba-tiba dengan satu pukulan dan serangan kaki yang sangat cepat, dia mampu merobohkan ayam jago Pancadirja. Ujung jalu kakinya tepat mengenai kedua matanya, sehingga ayam jago bupati tergelepar dan tidak berkutik. Seketika terdengar jeritan panjang yang mengagetkan semua penonton. Bupati Pancadirja berlari mendapati ayam jagonya, tetapi sudah tidak berdaya lagi. Orang-orang melongok terheran-heran. Orang yang mengetahui di balik peristiwa ini adalah Kiai Gantung Sirah. Saat ia akan menemui utusan sandi itu, ternyata sudah tidak ada di tempat.
            Kiai Gantung Sirah langsung memerintahkan orang-orangnya untuk mencari utusan sandi yang telah menyembunyikan diri itu. Utusan sandi tidak ditemukan oleh Kiai Gantung Sirah. Setelah kembali menemui Bupati Pancadirja, Kiai Gantung Sirah terkejut sebab tubuh bupati terkulai lemas dan kakinya lumpuh, bahkan buta kedua matanya. Ia yakin bahwa musuh tarung jagonya itu berasal dari pihak Keraton Ngayogyakarta. Ia menderita batin dan fisik. Bupati Pancadirja menduga keras bahwa Sri Sultan juga sudah mengutus prajuritnya untuk berperang dengan pasukannya, tetapi tidak tahu keberadaannya di mana. Tidak jauh dari sebelah Barat Kabupaten Pathi (Ponjong), utusan sandi sudah bertemu dengan pasukan besar keraton. Ia segera bercerita mengenai peristiwa yang baru saja terjadi sewaktu mengadu ayam jago dengan Bupati Pancadirja. Setelah itu mereka berunding untuk menentukan sikap lebih lanjut.
            Setelah menentukan keputusan bersama, Bupati Pancadirja diberi satu kesempatan. Jika tidak mau sadar, maka penyerangan terhadapnya akan diluncurkan. Tiba-tiba, dari arah timur tampak pasukan yang datang dan dipimpin Kiai Gantung Sirah. Mereka langsung menyerang pasukan Pangeran Natapraja. Melihat serangan itu maka Pangeran Natapraja mengambil tindakan untuk menyerang balik. Pasukan Natapraja lebih kuat sehingga mampu mendesak pasukan Kiai Gantung Sirah. Mengetahui pasukannya mulai terdesak, Kiai Gantung Sirah segera mendesak ke depan. Barisan pasukan Natapraja yang dilewati Kiai Gantung Sirah menyibak ke samping. Ia memang sakti dan tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Pangeran Natapraja tidak ingin pasukannya menjadi rusak sehingga ia mendesak pasukan Kiai Gantung Sirah. Keduanya sama-sama kebal terhadap senjata tajam. Pasukan Kiai Gantung Sirah rusak karena ia sedang bertarung dengan Natapraja. Peperangan kedua panglima perang itu sama kuat dan sama sakti, tetapi sedikit demi sedikit terlihat berat sebelah. Kiai Gantung Sirah mulai terdesak dan semakin lama semakin berat.
            Satu pukulan sakti Pangeran Natapraja dapat menghantam tubuh Kiai Gantung Sirah sehingga tubuhnya terguling. Tangan kanannya segera mengambil pedang pusakanya dan disambarkan di leher Kiai Gantung Sirah hingga putus dan kepalanya menggelinding. Setelah menancapkan pedangnya di tanah, Natapraja segera menggantungkan kepala Kiai Gantung Sirah di atas kayu yang di pancangkan di tanah, sementara tubuhnya ditanam di samping kayu itu.
            Kemudian hari tempat tersebut dinamakan sebagai makam “Gantung Sirah”, dan saat ini tempatnya berada di Karangmaja, kurang lebih setengah kilometer ke arah timur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"