Cerita Rakyat Nusantara "LARENGGAM"
Cerita Rakyat Daerah
Sulawesi Utara
25. Larenggam
25. Larenggam
Pada masa silam di Arangkaa hidup
seorang raja bernama Manee. Raja Manee memiliki seorang pembantu utama bernama
Larenggam. Segala sesuatu yang diperintahkan raja selalu dikerjakan dengan
riang hati, tanpa pernah mengeluh. Saat raja sakit pun ia selalu dijadikan
sebagai wakil raja. Demikian juga ketika sang raja akan menentukan keputusan
atau merencanakan hal-hal besar, Larenggam diajak untuk berunding.
Segala sesuatu yang ditetapkan sang
raja dengan kebijaksanaan dan bimbingan sang raja menjadikan Raja Manee dan
Larenggam disegani oleh rakyatnya. Rakyat sangat patuh terhadap sang raja.
Hingga suatu ketika, Kerajaan Arangkaa tiba-tiba diserang oleh orang Tule,
pimpinan Raja Asidi dan Mala. Keadaan Arangkaa menjadi kacau balau dan
menjadikan Raja Manee sangat marah. Ia membalas serangan orang Tule.
Orang-orang Tule berlari tunggang langgang mendapat serang balik yang dilakukan
Raja Manee dan Larenggam bersama para prajuritnya. Kekalahan Raja Asidi dan
Mala dijadikan peristiwa memilukan sehingga daerah Tule menjadi daerah
kekuasaan Raja Asidi.
Ketika pada zaman Belanda menduduki
daerah setempat, daerah Tule tidak pernah dijadikan daerah jajahannya, masih
tergabung dengan daerah Arangkaa. Namun, saat Belanda mengadakan pergantian
pemimpin pemerintahan di Sangir Talaud, terjadi keputusan baru. Daerah Tule
akan dimasukkan ke dalam wilayah Lirung. Raja Manee dan Larenggam tidak
berkenan melepaskan wilayah Tule. Mereka menolak keputusan Belanda. Setelah itu
pemerintahan Belanda mengubah kerajaan diganti menjadi jogugu (camat).
Keputusan Belanda ini ditolak oleh Raja Manee dan Larenggam. Mereka berdua
tetap bersikeras mempertahankan daerah kekuasaan kerajaan yang telah
diperjuangkan sebelumnya. Mereka tetap menginginkan berdiri sebagai kerajaan,
bukan kecamatan.
Suatu hari Raja Manee dipanggil oleh
Belanda ke Lirung agar dapat diajak berunding mengenai wilayah itu. Saat
berunding, Raja Manee justru dipaksa menjadi jogugu, bukan raja. Mendapati
situasi itu, akhirnya Raja Manee menerima keputusan Belanda yang sangat cerdik
mengelabuhi Raja Manee. Setelah itu Raja Manee diminta agar daerah Tule segera
diserahkan kepada Belanda dan dijadikan sebagai bagian wilayah Lirung. Saat
Raja Manee kembali ke Arangkaa, dalam perjalanannya meninggal dunia di suatu
kampung. Keadaan ini segera digantikan oleh Larenggam. Ia menjadi raja
Arangkaa. Tampuk pimpinan di Arangkaa ditangani oleh Larenggam. Pemerintahan
Belanda mendengar bahwa Larenggam juga tidak berkenan jika harus melepaskan
Tule, dan menolak dijadikan jogugu.
Maka Larenggam dipanggil Belanda untuk
menghadapnya. Panggilan itu tidak dituruti oleh Larenggam. Ia benar-benar tidak
mau menyerahkan wilayah Tule ke tangan Belanda. Larenggam bersumpah, “Saya
tidak akan melepaskan Tule kepada Belanda, walaupun ia menjadi abu sekalipun”.
Sikap Larenggam sangat keras sehingga membuat Belanda berunding dengan beberapa
pembantunya. Perundingan menyatakan bahwa Belanda akan menaklukkan Larenggam
yang keras kepala. Kemudian semua pimpinan di Sangir Talaud dipanggil untuk
terlibat dalam perundingan itu. Keputusan bersama adalah daerah Arangkaa akan
diserang.
Mereka berangkat dari Lirung menuju
Arangkaa dengan kapal Belanda bersama seratus lima puluh buah perahu Talaud. Di
Arangkaa, Raja Larenggam tidak melarikan diri sekalipun telah mendengar kabar
bahwa akan diserang oleh Belanda bersama dengan pengikutnya. Saat rombongan
penyerang tiba di Pantai Arangkaa, Belanda lekas menembak dengan meriam tetapi
sama sekali tidak ada yang meletus. Karena keadaan menjadi aneh, maka Raja
Manule, pengikut Belanda menyarankan agar mengucapkan mantera-mantera untuk
melawan kekuatan benteng Arangkaa. Larenggam terkena peluru tepat di pundaknya.
Ia cepat-cepat kembali ke kerajaan, dan semua penduduk Arangkaa melarikan diri.
Larenggam tinggal sendiri di kerajaan dengan lukanya yang parah. Belanda
akhirnya masuk ke dalam wilayah Arangkaa dan membakar pemukiman Arangkaa.
Larenggam ditemukan oleh residen dan langsung ditembaki.
Setelah keadaan sudah lerai,
akhirnya Belanda membawa keluarga Raja Manee dan anak-anak Raja Larenggam ke Lirung,
agar mereka tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka dikembalikan ke
Arangkaa setelah dua puluh tahun tinggal di Lirung.
Komentar
Posting Komentar