Cerita Rakyat Nusantara "Durian Ditakuk Raja"


Cerita Rakyat Daerah Jambi 
       

18. Durian Ditakuk Raja

            Dikisahkan bahwa saat Raja Adhytiawarman dari Majapahit akan memperluas daerah kekuasaannya ke daerah Sumatera, ia bermufakat dengan raja tiga negeri, yaitu Datuk Suri Dirajo, Datuk Perpatih Nan Sebatang, dan Datuk Ketemanggungan. Dalam mufakat itu Datuk Ketemanggungan mengutus Datuk Suri Dirajo agar menghadap Raja Adhytiawarman dan menyampaikan pengakuan tunduk dan menyerah.
            Pada malam harinya, Datuk Ketemanggungan dan istrinya beserta empat orang hulubalang bahkan beberapa pengawal berangkat meninggalkan ranah Minangkau menuju ke Negeri Palembang. Beberapa bulan kemudian, sampailah mereka di sebuah bukit berhutan lebat. Tidak jauh dari tempat mereka beristirahat, mereka melihat sebatang kayu besar dan tinggi. Mereka berjalan mendekati pohon itu. Setelah sampai tepat di bawah pohon itu, mereka pindah tempat istirahat untuk melepas lelah. Sekitar empat hari lamanya mereka berada di daerah tempat pohon besar itu sebab dekat dengan sungai.
            Saat fajar pagi menyingsing di hari kelima dalam peristirahatan itu, Datuk Ketemanggungan berkata, “Hai, kamu semua yang ada di sini. Mari kita sebaiknya segera meneruskan perjalanan panjang ini menuju ke Palembang. Tetapi karena kami suami-istri sudah lanjut usia, sementara jarak tempuh masih panjang, maka jika Tuhan mentakdirkan, hendaknya kamu semua kembali dahulu ke pangkalan tempat kita ini.”
            Setelah berpesan demikian, maka ditakuknya (ditetaknya) kayu besar yang digunakan untuk berteduh itu dengan kapak dan berkata, “Maksud saya ini adalah sebagai satu tanda untuk kamu semua”.
            Kalau pengawalnya harus kembali pulang, kayu besar yang bertakuk itu digunakan sebagai pedoman dalam perjalanan supaya tidak tersesat ke hutan yang lebih lebat. Kayu yang ditakuk itu adalah pohon durian, dan kemudian hari dinamakan sebagai Durian Ditakuk Raja. Pohon itu merupakan batas daerah antara Minangkabau dengan Jambi.
            Mereka meneruskan perjalanan dan setelah 15 hari berjalan, Datuk Ketemanggungan sampai di tepi sungai untuk beristirahat. Di situ istrinya menghadapi kesudahan takdir. Lalu istrinya dikuburkan di daerah itu yang bernama Muara Rupit. Mereka meneruskan perjalanan dan sampai di Bukit Sigantung. Namun malang menimpa mereka lagi setelah suasana berkabung. Raja Ketemanggungan meninggal dunia. Mereka semua mufakat memakamkan sang raja di daerah itu, belum jauh dari makam istrinya.
            Beberapa bulan setelah sepeninggalan Datuk Ketemanggungan, mereka kembali di pohon bertakuk itu. Mereka menjalani hidup di sana dan untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka mencari buah-buahan seperti rambutan, buah sambung, buah durian, dan lain-lain. Setelah itu, mereka tidak betah tinggal di daerah itu apalagi buah-buahannya sudah habis. Akhirnya mereka berunding untuk mencari tempat tinggal baru. Sebagian dari mereka kembali ke Muara Rupit dekat dengan makam rajanya, yang dipimpin oleh hulubalang dan memakai Suku Jambak. Sementara hulubalang yang satunya memakai Suku Pisang.
            Sebagain lagi tetap tinggal di daerah Durian Ditakuk Raja yang dipimpin oleh dua orang hulubalang, masing-masing mempunyai suku yang bernama Caniago dan Piliang. Mereka hidup di hutan itu terlalu lama karena kesetiaannya kepada pesan Datuk Ketemanggungan. Karena bertahun-tahun hidup di sana, mereka tidak pernah berjumpa dengan masyarakat lain. Hidup mereka menjadi terasing di tengah hutan. Lalu mereka dinamakan Suku Terasing atau Suku Anak Dalam, (Orang Kubu).
            Hingga saat ini pun mereka yang hidup sebagai Suku Anak Dalam masih menggunakan nama-nama suku seperti cara orang Minangkabau. Mereka masih berpegang teguh pada prinsip “Nagari tidak dapat dialih, suku tidak dapat dianjak-anjak.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"