Memaknai Pergelaran Wayang Kulit “Wiratha Parwa” di Universitas Sanata Dharma


Mahasiswa-mahasiswa dari berbagai program studi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang tergabung dalam UKM Seni Karawitan menggelar wayang kulit. Pergelaran wayang kulit dengan lakon “Wiratha Parwa” diadakan di Panggung Realino, Sabtu 27 Oktober 2018. Dalang yang melakonkan cerita yaitu Ki Wahono dan Ki Hariyanto, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma.
Pergelaran wayang kulit ini sebagai bentuk kegiatan tahunan yang sudah sering diselenggarakan oleh UKM Seni Karawitan. Pergelaran ini diadakan dalam rangka memperingati bulan bahasa dan Hari Sumpah Pemuda. Para mahasiswa ingin menghayati perjuangan para pemuda pada tahun 1928 dan berusaha menjaga inti sari Sumpah Pemuda dengan berkiprah di dunia seni pertunjukan wayang kulit.
“Pertunjukan pada malam ini telah diawali dengan tari Golek Ayun-Ayun. Tari ini sebagai suatu perkembangan masa remaja yang menggambarkan suasana hati putri remaja. Lalu pada pertunjukan wayang kulit sebagai proses pendewasaan,” tutur Romo Banar.
Lakon Wiratha Parwa mengisahkan perjalanan Pandawa menghadapi masa persembunyian dan pengasingan diri di hutan selama 13 tahun. Kisah ini terjadi saat pesta dan Puntadewa yang sangat suka bermain dadu dikelabuhi dan kalah dengan Duryudana. Hal inilah yang mengakibatkan Pandawa pergi meninggalkan kerajaan, lalu menyamar dan bersembunyi ke dalam hutan.
Penyajian lakon dipentaskan dengan 2 kelir dan 2 dalang yang bergaya Jogja dan gaya Solo, keduanya masih satu napas yaitu gaya Mataraman meskipun kedua juga sangat tampak perbedaannya. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Sanata Dharma dapat memadukan 2 unsur berbeda yang selama ini jarang sekali dipadukan. Sebab pakem di dalam pertunjukan wayang kulit antara gagrak (gaya) Solo dan Jogja berdiri sendiri.
Makna yang dapat dihayati dari penyajian ini bahwa suatu hal yang berbeda ternyata justru menjadi sebuah sajian yang indah. Seperti halnya keragaman corak budaya, bahasa, dan tradisi masyarakat Indonesia dapat bersatu melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang lalu. Perjuangan pemuda dalam menyatukan Nusantara sudah tampak jelas, yaitu dengan semboyan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Ketiga unsur sakral itu menjadi ajang pemuda untuk berkomitmen mengubah Nusantara menjadi satu padu. Itulah sebabnya bahwa bahasa harus dimuliakan karena dapat menjadi alat untuk menyatukan keberagaman. Seperti yang dituturkan Ouda Teda Ena, WR IV USD bahwa Universitas Sanata Dharma memiliki komitmen untuk menghidupi kebudayaan yang ada di Indonesia. Komitmen itu bagaimana menghidupi kesenian dan kebudayaan agar tetap lestari. 


Pada pertunjukan ini juga mengenang 10 tahun Bapak Ag. Surono seorang pelatih karawitan di UKM Seni Karawitan, yang saat ini diteruskan oleh putranya, Alb. Eko Susilo. Kecakapannya dalam bidang seni karawitan ditularkan kepada para mahasiswa Sanata Dharma yang menyukai karawitan. Komitmen para mahasiswa terhadap kelestarian seni tradisional sebagai upaya memberikan sesaji untuk Indonesia. Sesaji itu dituangkan dalam bentuk penyajian wayang kulit, seni karawitan, dan keterlibatan untuk menghidupi kesenian itu sendiri. Secara ekologi, sesaji di dalam pertunjukan wayang kulit berisi aneka ragam hasil bumi, di antaranya brokohan, empon-empon/ bumbu dapur, pala gantung (buah-buahan mangga, jeruk, pisang, nanas), kolak kencana, ingkung klubuk, kemenyan, tumpeng, dan sebagainya.


Di akhir cerita “Wiratha Parwa” tersebut menyatakan bahwa pasukan Ngastina memberi kesempatan akan kehadiran Pandawa. Kedua belah pasukan melakukan dharma dan menahan diri untuk bertindak. Akhirnya Pandawa dan pasukan Ngastina kembali ke istana tanpa melakukan kekerasan. Dunia kembali tenang seperti sedia kala dan damai. Kebaikan menyelimuti jagad dan menyingkapkan diri di tengah kehidupan.
Kisah ini memberi wejangan terhadap situasi masyarakat Indonesia saat ini. Suatu perbedaan bukan hal yang rumit dan keras yang harus dihadapi dengan perilaku saling membenci. Seperti yang terjadi di panggung pertunjukan ini menggambarkan bahwa 2 unsur yang berbeda antara gagrak Jogja dan Solo justru dapat dipadukan dan menghasilkan seni pertunjukan yang indah. Maka beranjak dari sini, kita dapat belajar untuk bersikap menjaga kedamaian sebagai suatu sajian untuk mempersembahkan kepada Indonesia yang gemah ripah loh jinawi.
                                                                                               
Yogyakarta, 30 Oktober 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"