Festival Sekar Geni ke 6 Universitas Sanata Dharma
MRICAN,
PRABA – Mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang tergabung dalam UKM Seni
Karawitan kembali menyelenggarakan Festival Sekar Geni di Panggung Terbuka
Realino, Universitas Sanata Dharma pada Minggu, 6 Mei 2018. Penyelenggaraan
Festival Sekar Geni ini memasuki tahun yang ke – 6. Pada tahun ini panitia
mendemonstrasikan nilai-nilai kerukunan kepada masyarakat. Tema yang diusung
yaitu, “Irama Gamelan Menyebarkan dan Menyuburkan Kesabaran dan Kerukunan”.
“Tema ini dibentuk berdasarkan kondisi negara kita yang sebentar lagi akan mengadakan pesta demokrasi, pilkada dan pilpres. Persiapan-persiapan yang ditentukan hendaknya tetap menciptakan kondisi yang damai dan rukun antar golongan masyarakat,” tutur Cecil, ketua festival.
Peserta yang mengikuti pesta gending gereja ini antara lain dari Gereja St. Maria Assumpta Gamping, GKJ Sumberagung, GKJ Gondokusuman, Gereja St. Paulus Pringgolayan, Gereja St. Antonius Kotabaru, Sanggar Bakti Budaya, Gereja Kristus Raja Baciro, GKJ Wonosari, Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, Gereja St. Petrus dan Paulus Babadan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, panitia memberikan penghargaan dan apresiasi kepada 10 peserta. Panitia juga memberikan piala bergilir dari Keuskupan Agung Semarang kepada 1 peserta yang menjadi penampil terbaik. Tahun ini pengamat festival memberikan piala tersebut kepada GKJ Gondokuman. Alasan memilih 1 penampil terbaik karena memenuhi kriteria yang lebih, yaitu jumbuh, berkreasi, dan visi misi sesuai dengan realita.
Festival Sekar Geni sebagai upaya mahasiswa Univeritas Sanata Dharma tidak hanya mempertahankan dan melestarikan keberadaan gamelan, tetapi lebih dari itu. Mahasiswa ingin membawa gamelan mamasuki ke ranah dunia internasional. Upaya tersebut tidak hanya bermodalkan diskusi-diskusi yang rumit, tetapi dengan wujud yang nyata. Nilai-nilai yang ingin disebarluaskan adalah nilai-nilai kesabaran dan kerukunan.
Realita kehidupan yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dijadikan bahan refleksi dan harus dievaluasi. Keberagaman sebagai masyarakat Indonesia jangan sampai luntur hanya karena berbeda pandangan. Dari perbedaan yang beragam tersebut hendaknya menjadi kekuatan untuk mempererat persaudaraan, karena ciri khas Indonesia itu sendiri adalah “bhineka tunggal ika”.
“Semua sudah dapat mengolah gamelan sedemikian kreatif, maka dari sini mari kita menjadikan peristiwa ini sebagai momentum kita kembali sebagai umat beragama, berbudaya, dan cinta tanah air,” pungkas Pardiman Joyonegoro, sebagai pengamat festival.
“Tema ini dibentuk berdasarkan kondisi negara kita yang sebentar lagi akan mengadakan pesta demokrasi, pilkada dan pilpres. Persiapan-persiapan yang ditentukan hendaknya tetap menciptakan kondisi yang damai dan rukun antar golongan masyarakat,” tutur Cecil, ketua festival.
Peserta yang mengikuti pesta gending gereja ini antara lain dari Gereja St. Maria Assumpta Gamping, GKJ Sumberagung, GKJ Gondokusuman, Gereja St. Paulus Pringgolayan, Gereja St. Antonius Kotabaru, Sanggar Bakti Budaya, Gereja Kristus Raja Baciro, GKJ Wonosari, Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, Gereja St. Petrus dan Paulus Babadan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, panitia memberikan penghargaan dan apresiasi kepada 10 peserta. Panitia juga memberikan piala bergilir dari Keuskupan Agung Semarang kepada 1 peserta yang menjadi penampil terbaik. Tahun ini pengamat festival memberikan piala tersebut kepada GKJ Gondokuman. Alasan memilih 1 penampil terbaik karena memenuhi kriteria yang lebih, yaitu jumbuh, berkreasi, dan visi misi sesuai dengan realita.
Festival Sekar Geni sebagai upaya mahasiswa Univeritas Sanata Dharma tidak hanya mempertahankan dan melestarikan keberadaan gamelan, tetapi lebih dari itu. Mahasiswa ingin membawa gamelan mamasuki ke ranah dunia internasional. Upaya tersebut tidak hanya bermodalkan diskusi-diskusi yang rumit, tetapi dengan wujud yang nyata. Nilai-nilai yang ingin disebarluaskan adalah nilai-nilai kesabaran dan kerukunan.
Realita kehidupan yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dijadikan bahan refleksi dan harus dievaluasi. Keberagaman sebagai masyarakat Indonesia jangan sampai luntur hanya karena berbeda pandangan. Dari perbedaan yang beragam tersebut hendaknya menjadi kekuatan untuk mempererat persaudaraan, karena ciri khas Indonesia itu sendiri adalah “bhineka tunggal ika”.
“Semua sudah dapat mengolah gamelan sedemikian kreatif, maka dari sini mari kita menjadikan peristiwa ini sebagai momentum kita kembali sebagai umat beragama, berbudaya, dan cinta tanah air,” pungkas Pardiman Joyonegoro, sebagai pengamat festival.
Lukas
Budi Husada
Komentar
Posting Komentar