OPTIMALISASI ANTUSIASME MAHASISWA DALAM PERKULIAHAN MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL
OPTIMALISASI ANTUSIASME MAHASISWA DALAM PERKULIAHAN
MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad
ke-21 ini menjadi suatu wahana yang tepat untuk menggali dan menemukan berbagai
macam ilmu pengetahuan secara cepat dan mudah. Segala hal mulai dari aspek
pendidikan, budaya, sosial kemasyarakatan, ekonomi, seni, dan lain-lain
merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Dalam dunia pendidikan,
keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh kuat terhadap proses
pembelajaran. Sebagai bentuk pembaruan sistem pendidikan nasional, pemerintah
menetapkan visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Tujuan
pendidikan nasional yaitu untuk mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua masyarakat Indonesia
berkembang menjadi manusia yang cerdas dan berkualitas. Sehingga, mereka
menjadi pribadi-pribadi yang proaktif menghadapi tantangan zaman modernisasi
yang cepat berubah. (Rusman, 2013: 4) proses belajar di sekolah harus dirancang
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik maupun psikologis peserta didik.
Dalam hal ini proses pembelajaran harus dipahami sebagai kegiatan peserta didik dalam belajar yang dibimbing oleh guru untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Guru secara profesional harus memiliki bekal kompetensi yang memadai, meliputi bahan, mengelola program pembelajaran, mengelola kelas, memanfaat media, menilai prestasi peserta didik, dan mematuhi administrasi sekolah. Hal di atas sejalan dengan pernyataan Kartono (2015:28) cara membangun guru yang layak dihormati adalah selalu bersikap konsisten. Ada bekal standar yang mesti dimiliki oleh guru agar kehadirannya di depan peserta didik sungguh-sungguh diperhitungkan. Potensi kecerdasan intelektual mahasiswa menjadi modal utama sebagai penentu keberhasilan belajar. Sebab, mahasiswa secara pribadi maupun berkelompok dapat dengan cepat mencari dan mengolah berbagai informasi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dampak kemajuan teknologi dan informasi saat ini menandakan bahwa dosen bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Maka agar mahasiswa dapat mengolah kecerdasan intelektual, emosional, dan antusiasme dengan baik, dosen perlu membuat strategi pembelajaran yang efektif. Maka dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual, mengajar bukan bentuk transformasi pengetahuan dari guru kepada peserta didik dengan kegiatan hapal-menghapal konsep materi, melainkan memberi bimbingan agar peserta didik dapat menerapkan langsung dalam hidup sehari-hari. Ciri khas model pembelajaran kontekstual yaitu, constructivism (konstruktivisme), inquiry (inkuiri), questioning (bertanya), learning community (kelompok belajar), modelling (pemodelan), reflection (refleksi, dan authentic assessment (penilaian sebenarnya).
Berdasarkan observasi dan wawancara pada perkuliahan Pragmatik program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Univesitas Sanata Dharma Yogyakarta, angkatan 2015 A, ada beberapa faktor mahasiswa tidak semangat selama mengikuti perkuliahan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap peristiwa pembelajaran. Dari sejumlah 47 mahasiswa di kelas, sekitar ada 15 mahasiswa yang tidak antusias memperhatikan kelompok pemakalah yang berbicara di depan kelas. Dalam proses perkuliahan tersebut mahasiswa lebih senang bermain gawai (gadget) dengan bermain sosial media online, selfie, dan bermain game. Selain itu ada juga yang mengobrol dengan teman di sampingnya, bahkan ada yang mengantuk dan meletakkan kepala di meja hingga beberapa menit. Fenomena ini justru dapat menjalar kepada mahasiswa lain dan ikut-ikutan menjadi tidak antusias terhadap paparan kelompok pemakalah. Setelah peneliti melakukan wawancara kepada beberapa mahasiswa bahwa kelompok pemakalah terlalu banyak memaparkan teori-teori pragmatik. Adapun contoh yang diberikan adalah contoh yang dibuat-buat/ tidak benar-benar terjadi sebagai bentuk implementasi dari teori.
Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam perkuliahan Pragmatik. Penyebab tersebut antara lain, 1) pemakalah terlalu banyak memaparkan teori-teori berkaitan dengan Pragmatik dari pada contoh-contoh yang relevan dan terbaru, 2) suasana kelas yang kurang menyenangkan karena pemakalah kurang komunikatif dengan mahasiswa. Selanjutnya peneliti melakukan praktik lapangan (praktik mengajar di kelas) dengan mengadakan pembenahan terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan strategi kontekstual yang dibumbui dengan humor. Johnson (2009) mengungkap bahwa pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan yang menghubungkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata. Mahasiswa dapat melihat makna di dalam materi akademik dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam hal ini proses pembelajaran harus dipahami sebagai kegiatan peserta didik dalam belajar yang dibimbing oleh guru untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Guru secara profesional harus memiliki bekal kompetensi yang memadai, meliputi bahan, mengelola program pembelajaran, mengelola kelas, memanfaat media, menilai prestasi peserta didik, dan mematuhi administrasi sekolah. Hal di atas sejalan dengan pernyataan Kartono (2015:28) cara membangun guru yang layak dihormati adalah selalu bersikap konsisten. Ada bekal standar yang mesti dimiliki oleh guru agar kehadirannya di depan peserta didik sungguh-sungguh diperhitungkan. Potensi kecerdasan intelektual mahasiswa menjadi modal utama sebagai penentu keberhasilan belajar. Sebab, mahasiswa secara pribadi maupun berkelompok dapat dengan cepat mencari dan mengolah berbagai informasi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dampak kemajuan teknologi dan informasi saat ini menandakan bahwa dosen bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Maka agar mahasiswa dapat mengolah kecerdasan intelektual, emosional, dan antusiasme dengan baik, dosen perlu membuat strategi pembelajaran yang efektif. Maka dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual, mengajar bukan bentuk transformasi pengetahuan dari guru kepada peserta didik dengan kegiatan hapal-menghapal konsep materi, melainkan memberi bimbingan agar peserta didik dapat menerapkan langsung dalam hidup sehari-hari. Ciri khas model pembelajaran kontekstual yaitu, constructivism (konstruktivisme), inquiry (inkuiri), questioning (bertanya), learning community (kelompok belajar), modelling (pemodelan), reflection (refleksi, dan authentic assessment (penilaian sebenarnya).
Berdasarkan observasi dan wawancara pada perkuliahan Pragmatik program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Univesitas Sanata Dharma Yogyakarta, angkatan 2015 A, ada beberapa faktor mahasiswa tidak semangat selama mengikuti perkuliahan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap peristiwa pembelajaran. Dari sejumlah 47 mahasiswa di kelas, sekitar ada 15 mahasiswa yang tidak antusias memperhatikan kelompok pemakalah yang berbicara di depan kelas. Dalam proses perkuliahan tersebut mahasiswa lebih senang bermain gawai (gadget) dengan bermain sosial media online, selfie, dan bermain game. Selain itu ada juga yang mengobrol dengan teman di sampingnya, bahkan ada yang mengantuk dan meletakkan kepala di meja hingga beberapa menit. Fenomena ini justru dapat menjalar kepada mahasiswa lain dan ikut-ikutan menjadi tidak antusias terhadap paparan kelompok pemakalah. Setelah peneliti melakukan wawancara kepada beberapa mahasiswa bahwa kelompok pemakalah terlalu banyak memaparkan teori-teori pragmatik. Adapun contoh yang diberikan adalah contoh yang dibuat-buat/ tidak benar-benar terjadi sebagai bentuk implementasi dari teori.
Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam perkuliahan Pragmatik. Penyebab tersebut antara lain, 1) pemakalah terlalu banyak memaparkan teori-teori berkaitan dengan Pragmatik dari pada contoh-contoh yang relevan dan terbaru, 2) suasana kelas yang kurang menyenangkan karena pemakalah kurang komunikatif dengan mahasiswa. Selanjutnya peneliti melakukan praktik lapangan (praktik mengajar di kelas) dengan mengadakan pembenahan terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan strategi kontekstual yang dibumbui dengan humor. Johnson (2009) mengungkap bahwa pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan yang menghubungkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata. Mahasiswa dapat melihat makna di dalam materi akademik dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari.
1.
Pendekatan Kontekstual
Letak
kebermanfaatan pencarian ilmu pengetahuan berawal dari proses belajar yang
kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah strategi guru untuk mengajak
peserta didik memperdalam pengetahuan dan menerapkannya secara konkret. Tujuan
guru menerapkan pembelajaran kontekstual sebagai berikut. Pertama, pendekatan
kontekstual sebagai pendekatan yang menghubungkan materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata peserta didik. Hal ini dapat membantu peserta didik melihat
makna di dalam materi dengan mengaitkan subjek-subjek akademik dengan konteks
kehidupan nyata, yaitu konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya (Johnson,
2009: 67). Kedua, pembelajaran kontekstual mengajarkan peserta didik belajar
bahasa sekaligus lingkungan sekitar. Ketiga, pembelajaran kontekstual dapat
mendukung pembelajaran lebih menyenangkan karena peserta didik terlibat
langsung dalam pembelajaran. Keempat, guru akan lebih termotivasi untuk mencari
media pembelajaran yang lebih bervariasi. Maka pembelajaran kontekstual dapat
mengarahkan peserta didik untuk terjun langsung pada situasi di lingkungan
masyarakat sebagai bentuk penerapan materi akademik. Seorang dosen (pemakalah) hendaknya pandai dalam
memilih pendekatan, metode, teknik, maupun model pembelajaran yang kreatif,
menyenangkan, dan bermakna bagi mahasiswa. Hal tersebut sesuai dengan PP RI No.
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab IV Pasal 19 ayat 1 yang
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kretivitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, perkembangan
fisik, serta perkembangan psikis peserta didik. Antusiasme (KBBI
daring) diartikan sebagai kegairahan; gelora semangat; minat besar terhadap
sesuatu. Maka makna antusiasme dalam proses pembelajaran ditujukan kepada guru
dan peserta didik itu sendiri. Hal utama yang harus dibangun oleh guru adalah
antusiasme dari dalam diri peserta didik. Agar peserta didik memiliki rasa
semangat belajar yang tinggi untuk menggali pengetahuan-pengetahuan yang
bermanfaat untuk diterapkan dalam hidup sehari-hari. Alasan perlu
diterapkannya pembelajaran kontekstual
adalah :
1. Sebagian
besar waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasi kegiatan
penyampaian pengetahuan oleh guru, sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan dan
menerimanya, sehingga tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.
2. Materi
pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait dengan
masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungan keluarga,
masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
3. Penilaian
hanya dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas
dan kemampuan belajar siswa yang autentik pada situasi yang autentik.
4. Sumber
belajar masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitar belum
dimanfaatkan secara optimal.
Menurut
Suprijono (2009: 79), pendekatan pembelajaran kontekstual atau Contexstual Teaching and Learning (CTL)
merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
Jhonson
(2006: 15) mengungkapkan bahwa pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang
bertujuan menolong siswa melihat makna di dalam materi akademik dengan konteks
kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan
budaya mereka. Hal ini berarti, bahwa pembelajaran kontekstual memungkinkan
siswa menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk
menemukan makna.
Sanjaya
(2006: 109) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh, untuk dapat memahami materi yang dipelajari, dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka. Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
pendekatan kontekstual merupakan konsep pendekatan yang menitikberatkan proses
belajar mengajar dengan mengaitkan materi dari oleh guru dengan situasi dunia
nyata siswa, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Ciri Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran
kontekstual memiliki beberapa karakteristik yang khas, yang membedakannya
dengan pendekatan pembelajaran lain. Karakteristik pendekatan kontekstual
menurut Depdiknas (2011: 11) sebagai berikut.
(a)
Kerjasama
(b)
Saling menunjang
(c)
Menyenangkan
(d)
Tidak membosankan
(e)
Belajar dengan gairah
(f)
Pembelajaran terintegrasi
(g)
Siswa aktif
(h)
Sharing dengan teman
(i)
Menggunakan berbagai sumber
(j)
Siswa kritis dan guru kreatif
(k)
Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa
(l)
Laporan kepada orang tua bukan rapor, melainkan hasil karya siswa.
Demikian
pula Jhonson (2006: 15) mengungkapkan delapan karakteristik pendekatan
kontekstual sebagai berikut.
a.
Membuat hubungan penuh makna (making
meaningful connections)
b.
Melakukan kerja signifikan (doing
significant work)
c.
Belajar mengatur sendiri (self-regulated
learning)
d.
Kerjasama (collaborating)
e.
Berpikir kritis dan kreatif (critical and
creative thinking)
f.
Memelihara pribadi (nurturing the
individual)
g.
Mencapai standar yang tinggi (reaching
high standard)
h.
Penggunaan penilaian autentik (using
authentic assessment)
3.
Komponen Pendekatan Kontekstual
Pendekatan pembelajaran
kontekstual terdapat tujuh ciri utama sebagai berikut:
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme adalah landasan filosofis pendekatan pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit melalui sebuah proses. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Menurut pandangan konstruktivisme, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (a) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (b) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Konstruktivisme adalah landasan filosofis pendekatan pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit melalui sebuah proses. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Menurut pandangan konstruktivisme, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (a) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (b) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
b. Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Inkuiri artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Inkuiri artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
c. Bertanya (Questioning)
Bertanya adalah cerminan dalam kondisi berpikir. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya dimaksudkan untuk menggali informasi, mengkomunikasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya adalah proses dinamis, aktif, dan produktif serta merupakan fondasi dari interaksi belajar mengajar.
Bertanya adalah cerminan dalam kondisi berpikir. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya dimaksudkan untuk menggali informasi, mengkomunikasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya adalah proses dinamis, aktif, dan produktif serta merupakan fondasi dari interaksi belajar mengajar.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual di dalam kelas, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompokkelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual di dalam kelas, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompokkelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
e. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang bisa ditunjuk dengan memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahui.
Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang bisa ditunjuk dengan memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahui.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan ketika pembelajaran. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru dipelajari. Nilai hakiki dari komponen ini adalah semangat instropeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya.
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan ketika pembelajaran. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru dipelajari. Nilai hakiki dari komponen ini adalah semangat instropeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya.
g. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan pembelajaran. Selaras dengan paparan tersebut, Depdiknas (2003: 4-8) mengemukakan bahwa pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut.
a. Belajar berbasis masalah (problem-based learning)
b. Pengajaran autentik (authentic instruction)
c. Belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning)
d. Belajar berbasis proyek (project-based learning)
e. Belajar berbasis kerja (work-based learning)
f. Belajar jasa layanan (service learning)
g. Belajar kooperatif (cooperative learning)
Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan pembelajaran. Selaras dengan paparan tersebut, Depdiknas (2003: 4-8) mengemukakan bahwa pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut.
a. Belajar berbasis masalah (problem-based learning)
b. Pengajaran autentik (authentic instruction)
c. Belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning)
d. Belajar berbasis proyek (project-based learning)
e. Belajar berbasis kerja (work-based learning)
f. Belajar jasa layanan (service learning)
g. Belajar kooperatif (cooperative learning)
Dari ketujuh uraian
pendekatan kontekstual tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan
kontekstual dalam proses pembelajaran memiliki komponen yang komprehensif. Ketujuh
komponen tersebut mencakup proses konstruktivis, melakukan proses berpikir
secara sistematis melalui inkuiri, kegiatan bertanya antara siswa dengan guru
maupun sesama siswa, membentuk kerjasama antarsiswa dengan diskusi, adanya
peran model untuk membantu proses pembelajaran, melibatkan siswa dalam
melakukan refleksi pembelajaran, serta penilaian sebenarnya yang dilakukan
selama proses pembelajaran berlangsung hingga mencapai hasil dari proses
pembelajaran.
4. Langkah
Penerapan Pendekatan Kontekstual
Setiap pendekatan, model, atau teknik pembelajaran memiliki prosedur pelaksanaan yang terstruktur sesuai dengan karakteristiknya. Langkah-langkah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran pragmatik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
Setiap pendekatan, model, atau teknik pembelajaran memiliki prosedur pelaksanaan yang terstruktur sesuai dengan karakteristiknya. Langkah-langkah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran pragmatik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1.
Kembangkan
pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan bertanya.
2.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri
untuk semua topik.
3.
Kembangkan sifat
ingin tahu siswa dengan bertanya.
4.
Ciptakan
masyarakat belajar.
5.
Hadirkan model
sebagai contoh pembelajaran.
6.
Lakukan refleksi
di akhir pertemuan.
7.
Lakukan penilaian
yang sebenarnya (authentic assesment)
dengan berbagai cara.
Daftar Rujukan
Johnson,
E.B. 2009. Contextual Teaching &
Learning. Bandung: MLC.
Kartono,
St. 2015. Menjadi Guru Untuk Muridku.
Yogyakarta: Kanisius.
Rusman.
2013. Seri Manajemen Sekolah Bermutu Model-Model
Pembelajaran Mengembangkan
Profesionalisme Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Profesionalisme Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suprijono,
Agus. 2009. Cooperative Learning.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
https://media.neliti.com/media/publications/53731-ID-peningkatan-motivasi-dan-keterampilan-me.pdf
https://media.neliti.com/.../85506-ID-penerapan-konsep-dan-prlnsip-pembelajara.pdf
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=288821&val=7239
http://digilib.unila.ac.id/3907/15/BAB%20II.pdf
https://media.neliti.com/.../85506-ID-penerapan-konsep-dan-prlnsip-pembelajara.pdf
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=288821&val=7239
http://digilib.unila.ac.id/3907/15/BAB%20II.pdf
Komentar
Posting Komentar