SIKAP TOLERANSI CIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA




            
Sebagian besar masyarakat mungkin belum mengetahui tanggal 21 September itu sebagai hari untuk memperingati apa. Setiap tahun masyarakat dunia memperingati Hari Perdamaian Dunia (World Peace Day), tepat pada tanggal 21 September yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang dan kekerasan yang merajalela. Bagi kalangan umat Katolik, Hari Perdamaian Dunia identik dengan tanggal 1 Januari.
            Menurut sejarahnya, Hari Perdamaian Dunia dimulai sejak tahun 1981 yang ditetapkan oleh Majelis PBB melalui Resolusi No. 55/282. Pada tahun 1982 merupakan peringatan Hari Perdamaian Dunia yang pertama kalinya dan dipertahankan oleh banyak negara, kelompok politik, militer, dan masyarakat dunia. Peringatan tersebut dibuka di Markas Besar PBB di Kota New York dengan pemukulan Lonceng Perdamaian. Kemudian pada tahun 2002, PBB secara gamblang memutuskan untuk menetapkan Hari Perdamaian Dunia sebagai masa non-kekerasan dan gencatan senjata di zona pertempuran. (malahayati.ac.id/?p=34744)
            Lantas dunia serentak untuk saling gencatan senjata dan menghormati sesama bangsa dengan berhenti bermusuhan. Dunia mengajak seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan dan meningkat kesadaran masyarakat tentang arti perdamaian itu sendiri. Menentang isu-isu sosial yang mengakibatkan konflik berkelanjutan dan memunculkan peperangan.
            Pada peringatan Hari Perdamaian Dunia 21 September 2017, PBB menyatakan bahwa tema peringatan Hari Perdamaian Dunia adalah “Bersama untuk Perdamaian: Penghormatan, Keselamatan, dan Martabat untuk Semua”. (www.okecoy.com.)
Pada dasarnya, perdamaian menurut KBBI merupakan upaya penghentian permusuhan; tidak ada perang; aman. Perdamaian tidak akan bisa diwujudkan secara cepat jika satu sama lain masih buas dan serakah dengan dalih ingin menang sendiri di antara yang lain.
            Tantangan di zaman modernisasi saat ini berupa kemiskinan, kelaparan, kesenjangan sosial, kekeringan dan kelangkaan air, wabah penyakit, konflik rasisme (sara), korupsi besar-besaran, pemanasan global, dan kerusakan alam. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan konflik yang merajalela. Manusia tambah serakah untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ujaran-ujaran perdamaian dan toleransi yang disuarakan belum digubris. Kesadaran masyarakat akan pentingnya perdamaian belum terlalu digubris. Konflik-konflik perebutan sumber daya alam, adu kekuatan, balas dendam sering timbul di daerah rawan konflik dan menjadi fenomena yang miris. Tanpa adanya kesadaran untuk berdamai, kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik tidak dapat terwujud.
            Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memang diciptakan dengan bermacam perbedaan. Tempat tinggal, suku, agama, ras, kondisi sosial, sebagai sarana membentuk karakter sesuai dengan kebaikan/ nilai-nilai budaya yang berlaku. Hanya rasa saling percaya dan toleransi yang dapat menciptakan perdamaian. Di Indonesia dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang ramah, santun, dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Seiring berjalannya waktu, dengan dinamika perpolitikan, korupsi, dan ujaran-ujaran kebencian menjadi fakta yang mengejutkan. Inilah contoh nyata konflik yang terjadi di Indonesia. Namun, hal itu terjadi hanya sementara saja karena semua dapat diatasi dengan baik.
            Pada era pemerintahan Joko Widodo, ada fenomena unik dan baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah. Saat upacara memperingati kemerdekaan NKRI ke-72 tahun, Joko Widodo memutuskan agar semua masyarakat dan pejabat pemerintahan yang hadir dalam upacara tersebut memakai pakaian adat. Pendekatan budaya ini menjadi sarana untuk membangun persaudaraan antar masyarakat Indonesia. Keunikan ini sebagai alternatif yang ampuh untuk mengurangi konflik sosial yang sedang meledak.
            Hal semacam itu juga dilakukan oleh OMK St. Antonius Kotabaru. Hari Perdamaian Dunia diperingati dengan penyelenggaraan “Festival of Justice and Peace 2017” di Gereja Kotabaru, selama 2 hari (20-21 September 2017). Di dalam acara tersebut diikuti oleh peserta dari Filipina, Banglades, Nepal, India, Timor Leste, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam, OMK mengangkat isu hak asasi, martabat, dan keadilan bagi kaum minoritas yang dikemas dengan seni pertunjukan budaya dan workshop. Konflik yang muncul akhir-akhir ini cukup memprihatinkan, sehingga dengan pendekatan budaya seperti ini, OMK berharap agar perdamaian dapat segera terwujud.
            Perdamaian tidak akan tercapai tanpa adanya sikap toleransi, hormat, dan menjunjung tinggi martabat setiap manusia demi keselamatan semua bangsa. Bentuk diskriminasi dan keserakahan harus dihentikan agar konflik sosial, agama, suku, dan ras, tidak terjadi berulang-ulang, terlebih di Bumi Pertiwi.

Yogyakarta, 21 September 2017
Lukas Budi Husada

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"