Cerita Rakyat Nusantara "Dusun Tinggi"


Cerita Rakyat Daerah Bengkulu
2. DUSUN TINGGI
         
   Alkisah pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda tampan nan sakti bernama Bintang Ruanau. Ia sangat suka mengembara ke segala penjuru hutan belantara untuk berburu burung rimba. Suatu ketika Bintang Ruanau pergi berjalan menyusuri hutan untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan sebagai perkampungan. Keajaiban yang ia lakukan yaitu dengan membawa ayam bruga atau ayam hutan dan burung puyuh sebagai wasiat orang tua. Ayam bruga dan burung puyuh digunakan sebagai penanda tempat yang baik untuk mendirikan sebuah kampung.
            Pada siang hari yang terik, sampailah Bintang Raunau di Lubuk Muara Panjuman untuk beristirahat melepaskan lelah. Seketika ayam bruga yang dibawanya berkokok sementara burung puyuh berbunyi terus menerus. Lalu Bintang Ruanau bergegas memastikan keadaan sekitar untuk meyakinkan bahwa tempat tersebut amat baik. Tetapi ia belum merasa yakin. Lalu ia mendaki ke gunung Bungkuk untuk bertapa agar mendapatkan wasiat hingga menjelang senja. Dalam pertapaan Bintang Ruanau memohon musim kemarau karena ingin menguji lubuk itu apakah dapat mengering. Setelah terjadi kemarau selama tiga bulan ternyata air lubuk itu tidak menyusut. Bintang Ruanau masih penasaran dan memohon agar terjadi hujan lebat tiga hari tiga malam, tetapi lubuk itu juga tidak mengalami kebanjiran. Maka dengan hati yang gembira, Bintang Ruanau segera menjadikan Lubuk Muara Panjuman sebagai sebuah kampung.
            Pada suatu siang Bintang Ruanau pergi ke sebuah danau untuk menjala ikan. Di situ ia bertemu dengan dua orang pemuda, lalu bertanya, “Hai, kawan. Siapakah engkau?”. Dengan senyum ramah kedua pemuda itu menjawab, “Aku Ratu Kesumo, kawan. Dan ini tetanggaku, namanya Lemang Batu”. Mereka bertiga akhirnya berteman dan setelah menjala ikan, Bintang Rauanau kembali ke kampung diikuti Ratu Kesumo dan Lemang Batu. Mereka berdua membantu Bintang Ruanau meneruskan mendirikan kampung di muara Panjuman. Setelah beberapa hari kampung tersebut sudah jadi. Lama-kelamaan kampung menjadi ramai penduduk seperti pada sebuah kerajaan. Namun pada suatu malam, secara mendadak kampung Panjuman diserang oleh gerombolan perampok. Penduduk kampung secara beramai-ramai melawan perampok dengan sekuat tenaga, sementara Bintang Rauanu, Ratu Kesumo, dan Lemang Batu melawan menggunakan kesaktiannya. Akhirnya perjuangan gigih penduduk kampung tidak sia-sia. Semua perampok yang berusaha memporak-porandakan kampung sudah mati semua. Akibatnya keadaan kampung menjadi penuh dengan bangkai karena tidak mungkin dikubur dengan jumlah yang terlalu banyak. Maka ketiga orang pemimpin desa bersepakat untuk meninggalkan kampung Panjuman dan mencari tempat yang lebih aman.
            Lalu mereka berbondong-bondong mengikuti Bintang Ruanau untuk mencari tempat yang baru. Ketika di perjalanan rombongan itu pecah dua karena terjadi perbedaan pendapat, rombongan Ratu Kesumo dan Lemang Batu menuju ke daerah Ulu Rawas sedangkan rombongan Bintang Ruanau ke Ulu Nelengo. Hari demi hari Bintang Ruanau beserta penduduk lainnya mendirikan perkampungan baru, namanya Dusun Tinggi. Mulailah mereka bercocok tanam dan membuka lahan perkebunan. Namun melihat keadaan saat ini, Bintang Ruanau menjadi gelisah karena tidak ada lagi pendekar yang sakti selain dirinya. Maka ia berseru kepada penduduk, “Saat ini kita tidak memiliki pendekar seperti dahulu. Maka marilah kita bersilahturami ke kampung sebelah untuk belajar silat dan bermain pedang.”.
            Bintang Ruanau bersama dengan beberapa pemuda dusun berangkat mencari guru silat. Di perjalan ia bertemu dengan pemuda Semidang, Si Pahit Lidah namanya. Lalu mereka berteman dan melanjutkan perjalanan ke Dusun Ruban. Sesampainya di Ruban, Bintang Ruanau belajar menjadi pemimpin kampung, tata cara hidup, semua jenis ilmu sakti termasuk silat selama tiga bulan. Sementara Si Pahit Lidah tidak berkeinginan belajar seperti Bintang Ruanau. Lalu kata gurunya, “Melihatlah ke atas!”. Tiba-tiba mulut Si Pahit Lidah diludahi oleh gurunya. Setelah semua dirasa sudah cukup maka Bintang Ruananu bersama beberapa pemuda serta Si Pahit Lidah kembali ke dusun masing-masing. Bintang Ruanau kembali ke Dusun Tinggi dengan kesaktian dan kepintaran serta mamiliki adat istiadat yang tinggi. Kemajuan Dusun Tinggi telah diketahui oleh penduduk dusun lain seperti Alat, Maras, Pasemah, Kedurang, Padang Guci, dan Empat Lawang.
            Si Pahit Lidah sampai di Dusun Semidang dan tidak ada yang dibawanya pulang, baik kepandaian maupun harta benda. Setelah istirahat di rumah, ia menyuruh adik perempuannya untuk memasak nasi serta lauk-pauk yang lezat. Lalu adiknya mencuci beras di sungai belakang rumah. Namun adiknya tidak segera kembali ke rumah sehingga membuat Si Pahit Lidah menjadi gelisah karena perutnya sudah menggerutu. Dalam kegelisahan Si Pahit Lidah berseru, “Aduh, perutku terasa sakit. Alangkah lamanya kamu adik. Bermain apa kamu di sungai? Apakah justru sudah berubah menjadi batu?”. Maka dengan kehendak Yang Maha Kuasa, pada saat itu juga, adiknya berubah wujud menjadi batu ketika sedang mencuci beras di sungai. Kemudian Si Pahit Lidah dengan rasa jengkel dan kecewa segera menyusul ke sungai dan melihat si adik menjadi batu. Tiba-tiba Si Pahit Lidah menyadari akan perkataan yang telah diucapkan.
            Si Pahit Lidah menyesali perkataannya sendiri. Setelah beberapa hari di rumah, lalu ia pergi dari Dusun Semidang menyusuri ke segala tempat tanpa ada tujuan yang jelas karena sedih mengingat kejadian yang menimpa adiknya. Ketika tiba di dusun seberang sungai, Si Pahit Lidah bertemu dengan sekumpulan orang yang sedang mengadu ayam jago. Orang-orang tidak mengacuhkannya bahkan tidak menjawab sapaan Si Pahit Lidah. Di tengah keramain orang-orang, Si Pahit Lidah berkata, “Hai, kalian ini apa sudah menjadi batu?”. Tiba-tiba orang-orang tersebut menjadi batu semua. Dengan perasaan yang berani, Si Pahit Lidah melanjutkan perjalanan dan tiba di Dusun Tinggi untuk bertemu dengan Bintang Ruanau. Namun saat sampai di sana Si Pahit Lidah melihat penduduk sedang mengadakan pesta pernikahan. Dalam keramaian pesta itu juga ada pertunjukan seni musik dan tari-tarian. Para undangan sangat menikmati kegembiraan pesta siang itu. Bersamaan dengan itu Si Pahit Lidah ingin bertanya kepada orang yang ada di depannya tetapi orang tersebut tidak mengacuhkannya. Dalam keadaan begitu maka Si Pahit Lidah menjadi geram sambil berteriak, “Hilanglah kalian semua dan dusun ini juga!”. Seketika itu juga semua orang dalam pesta tersebut menghilang beserta dengan dusun yang menghilang dalam sekejap tanpa jejak. Akhirnya Dusun Tinggi hilang lenyap, sementara Si Pahit Lidah tinggal sendirian di tengah padang ilalang yang sangat luas.
            Kejadian hilangnya Dusun Tinggi dengan cepat terdengar sampai ke kampung sebelah hingga ke mana-mana. Masyarakat telah mengetahui bahwa semua ini akibat ulah Si Pahit Lidah. Beruntungnya bahwa Bintang Ruanau sedang mengajarkan silat kepada pemuda di dusun sebelah. Para kerabat dan keluarga hilangnya Dusun Tinggi membuat kekacauan sebagian besar orang yang berasal dari Alas, Maras, Kedurang, Padang Guci, Basemah, dan Empat Lawang. Semua orang bersedih merenungi kehilangan anggota keluarganya. Lalu mereka datang ke Dusun Tinggi untuk menjenguk sisa-sisa Dusun Tinggi, tetapi yang ada hanya padang ilalang yang sangat luas. Dengan yakin mereka mencoba bertapa di bekas Dusun Tinggi dan akhirnya dalam mimpi mereka dapat bertemu dengan keluarga yang hilang.
            Kemudian Si Pahit Lidah berjalan menuju ke utara mengikuti kebingungannya tanpa arah tujuan yang jelas. Ketika sampai di sebuah dusun, dalam suasana menjelang siang hari Si Pahit Lidah bertemu dengan dua orang yan sedang beradu silat. Dengan hati yang penasaran, Si Pahit Lidah bertanya, “Hai, kawan. Apakah kalian berdua pernah diajarkan silat oleh Bintang Ruanau? Sekarang dia ada di mana, ya?”. Melihat keadaan seperti itu, Si Pahit Lidah merasa marah karena pertanyaannya tidak dijawab. Kata Si Pahit Lidah, “Bersambunglah kamu agar bermain silat terus-menerus tanpa henti!”. Sekonyong-konyong kedua orang pesilat itu menjadi satu tubuh. Kaki, tangan, telinga, dan badan mereka menjadi dua tetapi mata mereka tetap empat, di depan dan di belakang kepala. Si Pahit Lidah menamakan mereka sebagai Mata Empat. Si Mata Empat sangat marah akan ulah yang telah dibuat oleh Si Pahit Lidah. Maka, Mata Empat mengajak Si Pahit Lidah untuk bertarung. Tanpa senjata pedang dan keris, Si Pahit Lidang berani menantang Si Mata Empat dengan senjata silatnya. Maka dengan tangkasnya Si Pahit Lidah berhasil mengalahkan Si Pahit Lidah. Saat Si Pahit Lidah sudah tergeletak di bawah pohon kelapa, Si Mata Empat ingin menjadi Si Pahit Lidah, lalu menjilat lidah Si Pahit Lidah. Tanpa disangka sebelumnya, tiba-tiba Si Mata Empat berteriak kencang karena tubuhnya berubah menjadi batu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"