Cerita Rakyat Nusantara "Si Dampu Awang"
Cerita Rakyat Daerah Jawa
Barat
3. SI DAMPU AWANG
Syahdan, hiduplah seorang perempuan
muda di daerah pesisir, bernama Nyi Siti. Setelah melangsungkan pernikahan, ia
ditinggal pergi oleh suaminya yang menjadi kelasi. Pada waktu suaminya
berlayar, Nyi Siti sudah mengandung 4 bulan. Hatinya sangat sedih karena di
rumah tidak ada apa-apa yang akan digunakan untuk persiapan melahirkan.
Hari demi hari telah berlalu dan
suaminya belum kembali ke rumah. Setiap hari Nyi Siti berdoa kepada Tuhan agar
suaminya diberi perlindungan dan keselamatan bagi kandungannya. Namun di saat
tiba pada waktu Nyi Siti melahirkan seorang anak, suaminya belum juga datang.
Mendengar bahwa Nyi Siti sudah melahirkan maka tetangga-tetangganya datang dan
menolong untuk ikut mengurusi keperluan sang bayi. Nyi Siti tidak mau
memberikan nama dan selamatan untuk anaknya sebelum suaminya pulang. Namun
tetangganya mengajak warga sekampungnya berunding dengan seorang kyai untuk
mengadakan selamatan dan pemberian nama. Pada waktu selamatan, banyak sekali
warga yang datang dan menyaksikan upacara pemberian nama bayi Nyi Siti. Kyai
Guru memberikan nama Dampu Awang, “Dampu” artinya “tokoh”, dan “Awang” berarti
“pengharapan”. Maka maksud dari Kiai Guru adalah mengharapkan ayah anak itu
kembali karena pengharapan yang masih di awang-awang.
Tujuh tahun kemudian, Dampu Awang
sudah menjadi anak yang rajin dan lincah serta sangat disayang oleh Nyi Siti.
Setiap sore ia belajar mengaji kepada Kyai Guru yang dulu memberikan nama Dampu
Awang. Ketika Dampu Awang tidak mengaji, ia pergi memancing ikan di pantai Teluk
Banten bersama dengan teman-temannya. Pada waktu menjelang senja, Dampu Awang
melihat sebuah kapal yang besar semakin mendekat ke pesisir. Kapal muatan itu
membawa banyak sekali barang dagangan. Lalu Dampu Awang mendekat ke kapal dan
memberanikan diri untuk membantu para kelasi membongkar barang. Banyak kelasi
melihat Dampu Awang yang semangat membongkar barang. Melihat hal tersebut, sang
kapten kapal memanggil Dampu Awang masuk ke dalam kamarnya. Perasaan Dampu
Awang menjadi tidak karuan saat memasuki kamar sang kapten. Ia takut melihat
penampilan sang kapten yang penuh dengan perhiasan. Setelah sang kapten
tersenyum ramah dan bertanya, ketakutan Dampu Awang sirna seketika. Dampu Awang
menceritakan pengalamannya hidup di daerah pesisir selama ini. Ia sangat pandai
bercerita mengenai keadaan di Banten karena ia sangat senang pergi menyusuri ke
semua tempat. Setelah mengetahui semua tentang Dampu Awang, maka sang kapten
berkata, “Hai, Dampu Awang yang cerdik. Karena kamu seorang anak yang pandai
dan mengetahui seluk beluk dan bahasa di sini, maukah kamu ikut bekerja dengan
kelasi? Kamu sebagai penunjuk arah.” Mendengar ajakan sang kapten, ia gembira
sekali. Ia segera bergegas pulang dan menemui ibunya. Napasnya terengah-engah
tidak seperti biasanya saat tiba di rumah. Nyi Siti bertanya keheranan, “Ada
apa kamu berlari-lari, Nak? Siap yang mengejarmu?” Jawab Dampu Awang, “Tidak
ada, Bu. Tidak ada yang mengejar, tetapi ada sesuatu yang harus saya ceritakan,
Bu. Tadi sore, waktu saya sedang memancing di pantai, ada kapal yang berlabuh
dan langsung membongkar barang dagangannya. Banyak sekali barang-barangnya, Bu
karena saya ikut membantu membongkar. Setelah selesai, barang-barang hasil bumi
daerah sini seperti bawang, kelapa, cabai, rempah dan masih banyak lagi
langsung diangkat ke kapal. Tiba-tiba saat saya akan kembali memancing, sang
kapten memanggil. Saya disuruh masuk ke kamar sang kapten dan diberi makanan.
Selesai makan, saya ditawari pekerjaan, Bu. Saya diajak untuk berlayar
mengelilingi Pulau Jawa bahkan sampai mancanegara. Kalau sudah selesai, saya
pasti akan pulang, Bu. Apakah Ibu merestui permintaan saya?” Dengan hati yang
bangga, Nyi Siti menjawab, “Anakku, Dampu Awang, Ibu sangat bersyukur kalau
kamu mempunyai maksud demikian. Maafkan Ibu karena tidak bisa mengurus kamu
sebagaimana mestinya. Apalagi kamu sekarang akan dibawa berlayar ke
tempat-tempat jauh. Carilah ayahmu, Nak. Pergilah, Ibu selalu mendoakanmu.
Bersikaplah sopan dan hormat kepada orang lain. Carilah pengalaman sebanyak
mungkin agar kamu menjadi seorang yang bijaksana dan gagah perkasa.”
Sore itu juga, Dampu Awang dengan
berbekal keberanian ikut berlayar mengarungi lautan bersama dengan sang kapten.
Setelah ditinggalkan anaknya, hati Nyi Siti menjadi cemas karena tidak ingin
terjadi seperti suaminya. Hidup Nyi Siti sebatang kara, tanpa suami, tanpa
anak. Setiap hari ia berdoa kepada Tuhan agar hatinya terhibur oleh
sapaan-sapaan angin yang semilir. Setiap menjelang senja hingga malam Nyi Siti
bersimpuh dan berdoa di atas sebuah batu besar yang datar dekat dengan pantai.
Batu yang digunakan Nyi Siti untuk berdoa sebesar rumah sehingga kalau diangkat
orang dua puluh lima tidak akan goyah.
Bertahun-tahun Nyi Siti menjalani
hidup dalam kesendirian. Saat matahari menyingsing dari ufuk timur, warga
kampung mulai bekerja di sekitar pantai untuk membuat pernak-pernik hasil laut
atau memanen rumput laut. Dari kejauhan tampak sebuah kapal yang semakin dekat
semakin besar menuju ke pesisir kampung. Setelah kapal berhasil berlabuh di
Teluk Banten, maka para kelasi langsung membongkar barang-barang dagangan.
Keadaan pelabuhan sudah berubah, jauh berbeda dari beberapa tahun yang lalu.
Orang-orang di pantai ikut membongkar sampai selesai. Setelah selesai,
orang-orang beristirahat di bawah pohon-pohon kelapa dan cemara. Lalu keluarlah
sang kapten yang gagah perkasa dengan perhiasan yang di jemari dan badannya.
Kapten itu membuat orang-orang terpaku dengan penampilannya. Orang-orang
penasaran karena wajah sang kapten sangat mirip dengan seseorang yang pernah
hidup di kampungnya. Ada dua orang pergi memberitahukan kepada Kiai Guru dan
Nyi Siti untuk melihat sang kapten yang sedan berlabuh di pantai.
Nyi Siti dengan langkah
tergopoh-gopoh akhirnya sampai di pantai. Ia langsung memperhatikan sang kapten
terutama wajah dan tatapan matanya. Hati Nyi Siti seketika hancur karena sang
kapten sangat mirip dengan Dampu Awang. Nyi Siti memberanikan diri untuk
mendekati sang kapten, dan tepat di hadapannya Nyi Siti berdiri. Kakinya
gemetar dan seluruh badannya terasa lemah, air matanya deras berjatuhan karena
yakin bahwa sang kapten adalah Dampu Awang sendiri. Nyi Siti dengan sekuat
tenaga memeluk Dampu Awang sambil berkata, “Syukurlah, anakku Dampu Awang. Kamu
sekarang sudah menjadi orang besar. Ibu sudah “nyeri beuheung sosonggeteun, sudah lama Ibu menunggumu pulang. Di
mana ayahmu, Nak?” Kelasi dan para pegawai kapal tampak keheranan melihat sang
kapten dipeluk perempuan tua dengan pakaian compang-camping. Dampu Awang sangat
malu dilihat oleh mereka. Maka Dampu Awang segera melepaskan pelukan Nyi Siti
sampai tersungkur di tanah dan perutnya tertimpa satu kotak barang dangangan
yang tersenggol. Perasaan Dampu Awang sangat geram melihat Nyi Siti melakukan
perbuatan seperti itu, dan berteriak, “Aku sudah tidak punya ayah dan ibu! Hai
kelasi, singkirkan perempuan haram ini dari hadapanku! Berikan uang ini padanya
untuk membeli makanan.”
Hancur luluh hati Nyi Siti, punya
anak satu dan sudah menjadi orang besar tetapi tidak mengakui ibunya. Sambil
merintih Nyi Siti melangkah menuju tempat biasa digunakan berdoa. Pada batu itu
Nyi Siti memohon kepada Tuhan agar hati Dampu Awang kembali dan mau menerima
ibunya. Hingga malam tiba, Nyi Siti belum mau pulang walaupun para tetangga
sudah membujuk untuk beristirahat di rumah. Langit tampak cerah dengan pesona
bintang-bintang yang gemerlip. Tanpa disadari langit berubah menjadi gelap
gulita. Di lautan tampak ombak bergulung-gulung menggemuruh disertai badai
angin. Semua penduduk kampung keluar rumah karena mendengar suara gemuruh dari
arah laut. Keanehan mulai terlihat oleh penduduk kampung karena badai angin
hanya berputar-putar di tengah laut, padahal kapal besar milik Dampu Awang
sudah berlayar. Dari arah laut terdengar samar-samar suara memilukan minta
tolong. Setelah dilihat seksama, ternyata kapal besar sedang berputar-putar di
lautan mengikuti pusaran badai angin dan air. Ketika melihat peristiwa di
lautan itu, Nyi Siti yakin bahwa Dampu Awang ada di dalam kapal itu karena suaranya
terdengar samar-samar. Lalu mendekatlah Kiai Guru di samping Nyi Siti sambil
menasihati bahwa Si Dampu Awang jangan ditolong. Semua yang terjadi di sana
sebagai kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Siapa saja yang berbuat tidak baik
terhadap orang tua bahkan tidak mengakui ibu dan bapak pasti akan mengalami
kejadian serupa. Kapal besar itu lama-kelamaan terhempas ke pantai terbawa
gulungan ombak dan badai. Tiba-tiba kapal besar yang terbalik itu membesar dan
meninggi lalu berubah menjadi gunung. Orang-orang sekampung melihat kejadian
ini sebagai pertanda akan kebesaran Tuhan.
Nyi Siti tidak kuat menahan cobaan
yang datang bertubi-tubi. Lalu ia kembali pada batu besar untuk berdoa. Tanpa
disadari orang-orang sekitar, Nyi Siti mendadak hilang. Akhirnya sampai saat
ini, batu besar tempat sujud dan berdoa Nyi Siti disebut Kramat Watu, sementara
gunung yang berasal dari kapal besar itu disebut Gunung Si Dampu Awang.
Komentar
Posting Komentar