Cerita Rakyat Nusantara "Punden Watu Gilang"


Cerita Rakyat Jawa Tengah

5. PUNDEN WATU GILANG
            Pada suatu malam terjadilah hujan lebat mengguyur Desa Tambakbaya. Angin badai sesekali menghembus dengan kencangnya yang mampu menumbangkan pepohonan. Suasana tampak mencekam dan menjadikan masyarakat semakin gelisah. Beberapa orang meramalkan kalau hujan selebat itu akan terus terjadi sampai beberapa malam dan dapat menyebabkan bahaya banjir. Jika hutan tidak segera reda, tanaman pokok dan binatang peliharaan mereka dipastikan hanyut terbawa air bah. Kekhawatiran masyarakat ternyata menjadi kenyataan. Marabahaya banjir di Desa Tambakbaya terjadi setiap musim hujan tiba.
            Alangkah takutnya masyarakat desa menghadapi banjir bandang ini. Lalu masyarakat berkumpul untuk memohon ampun dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di antara mereka ada yang melakukan samadi mohon petunjuk Tuhan agar bahaya banjir bisa diatasi dan tidak mengahyutkan segalanya. Memang bencana banjir ini sangat sulit diatasi karena Desa Tambakbaya terletak di tepi Bengawan Solo. Namun dengan kesungguhan hati dan kekuatan doa masyarakat, Tuhan mengabulkan permohonan masyarakat Desa Tambakbaya.
            Pada saat itu sesepuh desa dalam doanya mendapatkan ilham dari Tuhan. Ilham itu maksudnya memberi petunjuk bahwa Desa Tambakbaya akan terhindar dari bencana banjir jika masyarakat desa dapat menaikkan batu balok yang menyerupai ompak. Batu balok tersebut berada di tengah Bengawan Solo. Konon batu balok itu berasal dari Desa Delepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri. Menurut cerita masyarakat setempat, pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat semadi Sunan Kalijaga ketika hanyut. Sesampainya di tempat itu Sunan Kalijaga terhindar dari air bah dan beristirahat pada batu balok itu sembari berdoa.
            Pada pagi hari saat fajar mulai menyingsing dari balik pegunungan. Sesepuh desa itu menyampaikan ilham (weca gaib) yang baru didapatkan. Lalu bersama dengan beberapa orang, sesepuh itu mengajak untuk mencari kebenarannya. Saat mendatangi tempat seperti dalam ilham tersebut, masyarakat menemukan batu berbentuk balok tepat berada di Bengawan Solo. Melihat kebenaran itu maka masyarakat yakin bahwa benda itu mampu menjadi sarana penolak marabahaya banjir yang selalu menghampiri Desa Tambakbaya. Setelah semua masyarakat diyakinkan akan keberadaan dan kebenaran batu tersebut, lalu mereka bertekad mengangkat batu itu dari dasar sungai. Seketika empat pemuda yang kuat tubuhnya membantu menaikkan batu itu. Namun ternyata batu tidak dapat terangkat. Lalu ditambah dua pemuda tetapi belum juga dapat diangkat. Kemudian beberapa orang lagi membantu mengangkat tetapi batu memang benar-benar tidak terangkat ke permukaan. Begitu seterusnya secara bergantian. Batu tetap pada posisi semula, tidak dapat digerakkan apalagi diangkat. Orang-orang masih memiliki harapan yang besar namun beberapa sudah mulai cemas. Setelah lama tidak ada hasil apapun tiba-tiba orang-orang pulang ke rumah dengan perasaan cemas bahkan ada yang mengumpat.
            Kerumunan masyarakat sudah pergi satu persatu, hanya menyisakan segelintir orang. Sementara dalam suasana yang demikian sulitnya, mereka berunding untuk mencari cara lain. Namun salah satu dari mereka meminta agar sesepuh desa melakukan samadi lagi dan memohon petunjuk Tuhan bagaimana cara memindahkan batu balok yang berat itu. Pada keesokan hari, sesepuh desa mengajak beberapa orang untuk kembali menyelesaikan perjuangan berat itu. Sesepuh desa mengatakan bahwa batu balok dapat terangkat jika proses pengangkatan diiringi dengan alunan gending gamelan beserta tari-tarian yang anggun dari seorang teledek. Dalam tradisi Jawa, teledek dipandang sebagai orang yang biasa menari dan menyanyi dengan iringan gamelan. Maka serentak masyarakat desa diberitahu agar menyiapkan upacara sakral demi keselamatan desa. Lalu dipanggillah rombongan penabuh gamelan beserta dengan penarinya untuk mengiringi upacara pengangkatan batu balok. Semua orang berduyun-duyun berdatangan ke Bengawan Solo untuk menyaksikan pengangkatan batu balok sambil menikmati tari-tarian. Ketika gamelan sudah mengalun halus mengiringi penari yang lemah gemulai maka batu batu mulai terangkat dari dasar sungai. Gending yang dialunkan adalah gending Kinanthi, sementara penarinya bernama Nyi Sandung, maka terciptalah Gending Kinanthi Sandung. Tidak seperti sebelumnya, orang-orang yang mengangkat batu itu tidak merasa berat. Suasana menjadi gemuruh bagaikan angin badai menerjang semak belukar di saat orang-orang bersorak-sorai melihat batu balok sudah berhasil diangkat dari Bengawan Solo. Sontak anak-anak berlarian kegirangan, sementara para orang tua terharu dan bangga. Lalu penabuh gamelan dan penari berhenti mengiringi pengangkatan batu balok.
            Selanjutnya masyarakat Desa Tambakbaya mengeramatkan batu balok tersebut. Masyarakat menyebut batu balok itu dengan nama Punden Watu Gilang. Punden berarti berpundi-pundi atau dihormati. Setiap hari Jumat Kliwon antara Bulan Juli, Agustus, dan September, tempat di mana terletak batu gilang tersebut ramai dikunjungi para peziarah, memetri (memperingati), dan mengadakan upacara adat yang disebut dengan bersih desa.
            Kini penduduk desa tidak pernah takut akan bencana banjir bandang. Mereka bercocok tanam dengan perasaan tenteram, sehingga hasilnya berlimpah ruah. Tanaman-tanaman kayu keihatan hijau warnanya dan subur, daunnya lebat. Binatang ternak semakin banyak dan beranak pinak. Penduduk setempat menamakan desa mereka dengan Tambakbaya karena batu gilang yang telah dipindahkan dapat menghalau bencana atau marabahaya. Saat ini Punden Watu Gilang berbentuk Yoni dan diletakkan di rumah joglo. Batu itu menyerupai ompak (alas tiang rumah) berukuran 60 kali 50 kali 50 sentimeter berwarna putih, dan berasal dari Desa Delepih tempat asal mula mata air Bengawan Solo. Letak geografi Desa Tambakbaya di sebelah barat daya Kota Sukoharjo, Kecamatan Tawangsari.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Nusantara "Lembu Suro"

Cerita Rakyat Nusantara "Batu Golog"

Cerita Rakyat Nusantara "Pangeran Purbaya"